“PERNIKAHAN”
Tugas Ini Ditujukan Untuk Memenuhi Salah
Satu Tugas Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
pada Semester Genap
Tahun Pelajaran 2018/2019
Disusun Oleh :
Kelompok
(Kelas XII MIPA 5)
·
Muhammad
Raihan Indraguna
·
PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT
DINAS PENDIDIKAN
KANTOR CABANG DINAS PENDIDIKAN WILAYAH
XIII
SMA
NEGERI 2 CIAMIS
Jln. K.H. Ahmad Dahlan No. 2 Tlp. (0265)771709
Ciamis, 46216
LEMBAR
PENGESAHAN
Makalah yang berjudul “PERNIKAHAN”. Tugas Ini Ditujukan Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
pada Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2018/2019. Yang disusun oleh
Kelompok
(Kelas XII MIPA 5)
• Muhammad Raihan Indraguna
Telah disetujui oleh :
Ciamis, 14 Januari 2019
Wali Kelas Guru
Mata Pelajaran PAI
NIP. NIP.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Dengan mengucapkan puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan rahmat, serta karunianya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah sederhana ini.
Selain itu saya
mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Ibu Etin Rantinah selaku
wali kelas XII IPA 5.
2.
Bapak
Dading Faridi selaku pembimbing sekaligus guru mata
pelajaran PAI.
Makalah ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas pelajaran PAI.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
sempurnanya makalah ini.
Semoga dengan adanya
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta dapat dijadikan acuan untuk
membuat makalah lebih baik lagi kedepannya.
Ciamis, 14 Januari 2019
Penulis
DAFTAR
ISI
LEMBAR
PENGESAHAN............................................................... ii
KATA
PENGANTAR....................................................................... iii
DAFTAR
ISI..................................................................................... iv
BAB
I PENDAHULUAN ................................................................. 5
A.
Latar
Belakang.......................................................................... 5
B.
Rumusan
Masalah..................................................................... 5
C. Tujuan....................................................................................... 5
D.
Manfaat..................................................................................... 6
BAB
II PEMBAHASAN................................................................... 8
A. Definisi pernikahan menurut
dalil Al-Qur’an............................ 8
B. Hukum pernikahan menurut dalil
Al-Qur’an............................ 8
C. Rukun dan syarat dalam
pernikahan....................................... 11
D. Tujuan pernikahan menurut dalil
Al-Qur’an............................ 13
E. Hikmah dan manfaat pernikahan............................................. 14
F. Modal dalam membangun rumah
tangga................................. 15
G. Kendala dalam memangun rumah
tangga................................. 19
H. Perceraian................................................................................. 24
I. Masa iddah............................................................................... 27
J. Rujuk....................................................................................... 32
K. Hak dan kewajiban suami-istri................................................. 34
L.
Kisah teladan tentang pernikahan............................................ 38
BAB
III PENUTUP ......................................................................... 40
A. Kesimpulan.............................................................................. 40
B.
Saran........................................................................................ 40
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................... 41
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Pengertian nikah menurut syara' sudah jelas bahwa pelaksaan
nikah sepenuhnya tergantung pada peraturan agama. Adapun pengertian nikah
menurut undang-undang perkawinan pencatatannya dapat dilakukan di kantor sipil
(KUA). Sedangkan pelaksanaan nikah dilakukan menurut aturan agama, bila tidak
dilakukan menurut aturan agama yang dianutnya maka perkawinan dianggap tidak sah menurut
undang-undang perkawinan.
Nikah itu
ialah : "melaksanakan aqad (perikatan yang dijalin kepadanya. Tuhan
bermurah hati menjadikan anatara dua orang yang sepasang itu kasih mesra dan
rahmat kasihan. Gunanya, supaya berdirilah rumah tangga yang jaya dan
terbentuklah keluarga yang berbahagia. Dengan lain perketaan, menjadilah sang
isteri "Syairekatur rajuli fil hayati = kongsi hidup seseorang lelaki
dalam melayari bahtera kehidupan" dan anggota yang aktif dalam menyusunkan
keluarga.
Walhasil,
apabila seseorang lelaki beristeri (bernikah dengan seseorang wanita),
berartilah ia mengambil seorang kongsi dalam melayarkan bahtera hidupnya;
kongsi dalam mengendalikan rumah dengan pengakuan kedua belah pihak) antara
seseorang lelaki dan seseorang peremuan atas dasar keridlaan dan kesuksesan
kedua belah pihak, oleh seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat
yang telah ditetapkan Syara' untuk menghasilkan hidu serumah tangga dan
untuk menjadikan yang seorang condong kepada yang seorang lagi dan
menjadikan
masing-masing dari padanya sekutu (teman hidup = syarikatul hajah) bagi
yang lain."
Sesungguhnya
perkawinan itu, ialah : suatu hakikat yang tersusun dari seorang lelaki dan
seorang perempuan dan masing-masingnya dipandang separo dari hakikat yang satu
itu. Lantaran demikian dikatakanlah kepada masing-masingnya zauj (pasangan) bagi yang selainnya.
walaupun masing-masingnya dipandang seorang manusia yang lengkap pada dzatnya,
namun lantaran perkawinan itu, dipandanglah masing-masingnya sebelah dari dua
belah yang berpasangan.
Inilah
rahasia menamai suami Zauj dan menamai isteri dengan Zauj juga.Yakni supaya
memberi pengertian bahwa yang seorang itu pasangan bagi yang lainnya; dan
supaya memberi pengertian bahwa tiap-tiap yang dipandang pasangan haruslah
menyamai dan mengimbangi yang selainnya. Ummat manusia dari
keluarga dan rumah tangga. Lantaran itu Allah menyusun dan mensyari'atkan
nidham (peraturan ) untuk mewujudkan rumah tangga yang menjaminkan kehidupannya
dan kekekalannya; dan untuk mempersiapkan itu buat menyelenggarakan aneka rupa
kewajiban di dalam hidup dunia ini.
Islam
mensyari'atkan perkawinan dan menggerakkan ummat tangganya dan kongsi dalam
membentuk keluarganya; bukan berarti mengambil seseorang pelayan atau seseorang
budak dengan nama isteri. Kita para ummat dituntut benar-benar mendirikan
masyarakat yang sentausa. Perkawinan itu, adalah seutama-utama pekerjaan buat
memelihara sendi masyarakat itu
I.II Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami
membatasi rumusan masalahnya yaitu :
1.
Definisi pernikahan menurut dalil Al-Qur’an
2.
Hukum pernikahan menurut dalil Al-Qur’an
3.
Rukun dan syarat dalam pernikahan
4.
Tujuan pernikahan menurut dalil Al-Qur’an
5.
Hikmah dan manfaat pernikahan
6.
Modal dalam membangun rumah tangga
7.
Kendala dalam memangun rumah tangga
8.
Perceraian
9.
Masa iddah
10.
Rujuk
11.
Hak dan kewajiban suami-istri
12.
Kisah teladan tentang pernikahan
I.III Tujuan
1.
Untuk mengetahui Definisi pernikahan menurut dalil Al-Qur’an
2.
Untuk mengetahui Hukum pernikahan menurut dalil Al-Qur’an
3.
Untuk mengetahui Rukun dan syarat dalam pernikahan
4.
Untuk mengetahui Tujuan pernikahan menurut dalil Al-Qur’an
5.
Untuk mengetahui Hikmah dan manfaat pernikahan
6.
Untuk mengetahui Modal dalam membangun rumah tangga
7.
Untuk mengetahui Kendala dalam memangun rumah tangga
8.
Untuk mengetahui perceraian
9.
Untuk mengetahui masa iddah
10.
Untuk mengetahui rujuk
11.
Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami-istri
12.
Untuk mengetahui kisah teladan pernikahan
I.IV
Manfaat
1.
Diketahuinya
Definisi
pernikahan menurut dalil Al-Qur’an
2.
Diketahuinya
Hukum
pernikahan menurut dalil Al-Qur’an
3.
Diketahuinya
Rukun dan
syarat dalam pernikahan
4.
Diketahuinya Tujuan pernikahan menurut dalil Al-Qur’an
5.
Diketahuinya Hikmah dan manfaat pernikahan
6.
Diketahuinya Modal dalam membangun rumah tangga
7.
Diketahuinya Kendala dalam memangun rumah
tangga
8.
Menambah wawasan tentang perceraaian
9.
Menambah wawasan tentang masa iddah
10.
Menambah wawasan tentang rujuk
11.
Menambah wawasan tentang hak dan kewajiban suami-istri
12.
Menambah wawasan tentang kisah teladan pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
II.I Pengertian Pernikahan
Nikah, menurut bahasa:
al jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan
dengan aqdu al-zawaj yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u
al-zawaj) bermakna menyetubuhi istri. Beberapa penulis juga terkadang menyebut
pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal
dari kata kawin yang menurut bahasa berarti membentuk keluarga dengan lawan
jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan
secara umum untuk tumbuhan, hewan, manusia dan menunjukan proses generative
secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena
memgandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat dan terutama menurut
agama.
Adapun menurut syarak:
nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan
untuk saling memuaskan satu sama lainya dan untuk membrentuk sebuah bahtera
rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fiqih
berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan didalamnya
mengandung kata inkah atau tazwij. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang ditulis
Zakiah Darajat dkk yang memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: “akad
yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafaz nikah
atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya”.
Dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 Bab 1 pasal 1 disebutkan bahwa: perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Pendapat Syafi’iyah
yang paling shahih mengenai pengertian nikah secara syar’I adalah bahwa kata
itu dari sisi denotatif bermakna akad sedang dari segi konotatif bermakna
hubungan intim sebagaimana disinggung al-Qur’an maupun as-sunnah kata nikah
dalam firman Allah “sebelum dia menikah dengan suami yang lain” (QS.
Al-Baqarah:230) maksudnya adalah akad sedangkan makna hubungan intim diambil
dari hadits al-Bukhari dan muslim, “sebelum engkau mengecap madunya”
II.II Dasar Hukum Pernikahan
Perkawinan adalah
sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia,
hewan,bahkan oleh tumbuh-tumbuhan. Bahwa segala sesuatu di dunia ini terdiri
dari dua pasangan. Misalnya, air yang kita minum terdiri dari oksigen dan
hydrogen, listrik ada positif dan negative dan lain sebagainya. Sesuai dengan firman Allah dalam
al-Qur’an sebagai berikut:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
Artinya: “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Pada dasarnya
pernikahan itu diperintahkan oleh syara’. Sebagaimana ditegaskan dalam firman
Allah SWT.
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُو
“dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Firman Allah:
وَأَنْكِحُوا
الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha mengetahui.”
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
1. Firman Allah
Surah Ar-Rum ayat 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya
"Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia telah menjadikan dari dirimu sendiri pasangan
kamu, agar kamu hidup tenang bersamanya dan Dia jadikan rasa kasih sayang
sesama kamu. sesungguhya dalam hal itu menjadi pelajaran bagi kamu yang
berpikir".
Rasulullah Saw
bersabda:
عن عبد الله
بن مسعود رضى الله عنه قال: قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم : يا معشر
الشباب من استطاع منكمم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع
فعليه با لصوم فانه له وجاء
“ibnu mas’ud r.a berkata : Rasulullah Saw bersabda
kepada kami: Hai para pemuda, apabila diantara kamu mampu untuk kawin,
hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan
kemaluan, dan barang siapa tidak mampumaka hendaklah ia berpuasa sebab puasa
itu menjadi penjaga baginya ”.(HR. Bukhari-muslim)
Perkawinan pada
dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat maslahatnya. Meskipun asal
hukumnya adalah mubah, namun dapat berubah menurut ahkamal khamsah (hukum yang
lima) menurut perubahan:
1.
Nikah
wajib, nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah takwa.
Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan
menyelamatkannya dari perbuatan haram.
2.
Nikah
haram, nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu
melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi
nafkah, pakaian, tempat tinggal dan kewajiban batin seperti mencampuri istri
atau berniat untuk menyakiti perempuan yang dinikahi.
3.
Nikah
sunnah, nikah disunnahkan bagi orang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup
mengendalikan dirinya dari perbuatan haram.
4.
Nikah
mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan dan dorongan unuk nikah belum
membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.
5.
Nikah
makruh yaitu bagi orang yang tidak bisa memberi nafkah.
Sebagaimana
dijabarkan dalam penjelasan berikut ini
1.
Wajib
Pernikahan dapat
menjadi wajib hukumnya jika seseorang memiliki kemampuan untuk membangun rumah
tangga atau menikah serta ia tidak dapat menahan dirinya dari hal-hal yang
dapat menjuruskannya pada perbuatan zina. Orang tersebut wajib hukumnya untuk
melaksanakan pernikahan karena dikhawatirkan jika tidak menikah ia bisa
melakukan perbuatan zina yang dilarang dalam islam (baca zina dalam islam). Hal
ini sesuai dengan kaidah yang menyebutkan bahwa
“Apabila suatu perbuatan
bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib”
2.
Haram
Pernikahan dapat
menjadi haram hukumnya jika dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki
kemampuan atau tanggung jawab untuk memulai suatu kehidupan rumah tangga dan
jika menikah ia dikhawatirkan akan menelantarkan istrinya. Selain itu,
pernikahan dengan maksud untuk menganiaya atau menyakiti seseorang juga haram
hukumnya dalam islam atau bertujuan untuk menghalangi seseorang agar tidak
menikah dengan orang lain namun ia kemudian menelantarkan atau tidak mengurus
pasangannya tersebut.
Beberapa jenis
pernikahan juga diharamkan dalam islam misalnya pernikahan dengan mahram (baca
muhrim dalam islam dan pengertian mahram) atau wanita yang haram dinikahi atau
pernikahan sedarah, atau pernikahan beda agama antara wanita muslim dengan pria
nonmuslim ataupun seorang pria muslim dengan wanita non-muslim selain ahli
kitab.
3.
Sunnah
Berdasarkan
pendapat para ulama, pernikahan hukumnya sunnah jika seseorang memiliki
kemampuan untuk menikah atau sudah siap untuk membangun rumah tangga akan
tetapi ia dapat menahan dirinya dari sesuatu yang mampu menjerumuskannya dalam
perbuatan zina.dengan kata lain, seseorang hukumnya sunnah untuk menikah jika
ia tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan zina jika ia tidak menikah. Meskipun
demikian, agama islam selalu menganjurkan umatnya untuk menikah jika sudah
memiliki kemampuan dan melakukan pernikahan sebagai salah satu bentuk ibadah.
4.
Mubah
Suatu pernikahan
hukumnya mubah atau boleh dilaksanakan jika seseorang memiliki kemampuan untuk
menikah namun ia dapat tergelincir dalam perbuatan zina jika tidak
melakukannnya. Pernikahan bersifat mubah jika ia menikah hanya untuk memenuhi
syahwatnya saja dan bukan bertujuan untuk membina rumah tangga sesuai syariat
islam namun ia juga tidak dikhwatirkan akan menelantarkan istrinya.
5.
Makruh
Pernikahan maksruh
hukumnya jika dilaksanakan oleh orang yang memiliki cukup kemampuan atau
tanggung jawab untuk berumahtangga serta ia dapat menahan dirinya dari
perbuatan zina sehingga jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir dalam
perbuatan zina. Pernikahan hukumnya makruh karena meskipun ia memiliki
keinginan untuk menikah tetapi tidak memiliki keinginan atau tekad yang kuat
untuk memenuhi kewajiban suami terhadap istri maupun kewajiban istri terhadap
suami.
II.III Tujuan Pernikahan
Kompilasi hukum islam
merumuskan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah mawadah warahmah yaitu rumah tangga yang tentram, penuh
kasih sayang serta bahagia lahir dan batin. Hal tersebut sesuai dengan firman
Allah SWT dalam QS. Ar-ruum ayat 21 yang artinya:
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
Tujuan pernikahan tidak
hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis yang menghalalkan hubungan
seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas meliputi segala aspek
kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupun batiniah. Sesungguhnya pernikahan
itu ikatan yang mulia dan penuh barakah. Allah SWT mensyari’atkan untuk
keselamatan hambanya dan kemanfaatan bagi manusia agar tercapai maksud dan
tujuan yang baik.
Zakiyah Darajat dkk
mengemukakan lima tujuan dalam pernikahan yaitu:
1.
Mendapatkan
dan melangsungkan keturunan.
2.
Memenuhi
hajat manusia menyalurkan syhwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
3.
Memenuhi
panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan
4.
Menumbuhkan
kesungguhan untuk bertanggung jawab
5.
Membangun
rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih
sayang.
Pernikahan juga
bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan
pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana
pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga merupakan salah satu diantara
lembaga pendidikan informal, ibu bapak yang dikenal pertama oleh putra putrinya
dengan segala perlakuan yang diterima dan yang dirasakannya, dapat menjadi
dasar pertumbuhan pribadi/kepribadian putra putri itu sendiri.
Sebagaimana sabda nabi
muhammad Saw:
“tiada bayi yang dilahirkan melainkan
lahir diatas fitrah maka ayah dan ibundanya yang menjadikan ia yahudi nasrani
atau majusi”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Sulaiman al-Mufarraj
dalam bukunya bekal pernikahan menjelaskan bahwa ada 15 tujuan pernikahan
yaitu:
1.
Sebagai
ibadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT.
2.
Untuk
‘iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang)
3.
Memperbanyak
umat Muhammad Saw.
4.
Menyempurnakan
agama
5.
Menikah
termasuk sunnahnya para utusan Allah
6.
Melahirkan
anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu mereka saat
masuk surga
7.
Menjaga
masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinaan dan lain sebagainya.
8.
Legalitas
untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami dalam
memimpin rumah tangga.
9.
Mempertemukan
tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkaran keluarga.
10. Saling mengenal dan menyayangi
11. Menjadikan ketenangan kecintaan dalam
jiwa suami dan istri
12. Sebagia pilar untuk membangun rumah
tangga islam yang sesuai dengan ajaran-Nya
13. Suatu tanda kebesaran Allah SWT
14. Memperbanyak keturunan umat islam dan
menyemarakkan bumi melalui proses pernikahan
15. Unuk mengikuti panggilan iffah dan
menjaga pandangan kepada hal-hal yang diharamkan.
II.IV Hikmah
dan Manfaat Pernikahan
Sejalan dengan tujuannya
pernikahan memiliki sejumlah hikmah bagi orang yang melakukannya. Dalam
ensiklopedi tematis dunia islam, serta menurut sayid sabiq, ulama fiqih
kontemporer dalam bukunya fiqh as-sunah mengemukakan sebagai berikut:
1.
Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji,Bagi manusia
naluri tersebut sangat kuat dan keras serta menuntut adanya penyaluran yang
baik. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya. Dengan
perkawinan, kehidupan manusia menjadi segar dan tentram serta terpelihara dari
perbuatan keji dan rendah.
2.
Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat sehingga dapat
menjaga kelestarian hidup umat manusia.
3.
Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan rumah
tangga bersama anak-anak
4.
Melahirkan organisasi dengan pembagian tugas/tanggung jawab tertentu,serta
melatih kemampuan bekerjasama
5.
Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturrahmi antar keluarga
6.
Mewujudkan anak yang akan mengekalkan keturunan seseorang dan
memelihara suku manusia
7.
Memelihara hajat tabi'at. Perkawinan itu memelihara diri dari terjerumus ke
dalam kencah kerusakan akhlak dan keburukan-keburukan yang merusak merugikan
masyarakat. apabila kita tidak bernikah, tentulah hajat tabi'at itu dipenuhi
dengan cara yang curang; cara yang tidak
dibenarkan agama dan akal yang sehat serta kesusilaan yang luhur.
8.
Memasukkan kesenangan dan ketenangan ke dalam diri masing-masing (dari
suami isteri) dengan jalan yang halal Lelaki dan perempuan menghendaki
kesenangan dan kelazatan. Maka apabila tidak dimasukkan kesenangan dan
kelezatan itu dengan melalui pintu nikah, tentulah mereka melalui pintu
perzinahan.
9.
Menyusun dan mengatur rumah tangga atas dasar mawaddah warahmah yang
berjalan rapi antara dua orang yang dijadikan bersatu.
10. Menambah kea'rifan dan
kesungguhan mencari rezeki yang halal
II.V
Syarat-Syarat dalam Pernikahan
Rukun nikah :
a.
Pengantin lelaki (Suami)
b.
Pengantin perempuan (Isteri)
c.
Wali
d.
Dua orang saksi lelaki
e.
Ijab dan kabul (akad nikah)
Syarat sah nikah
dijelaskan secara rinci, sebagai berikut :
1.
Syarat bakal suami
a.
Islam
b.
Lelaki yang tertentu
c.
Bukan lelaki mahram dengan bakal isteri
d.
Mengetahui wali yang sebenar bagi akad nikah tersebut
e.
Bukan dalam ihram haji atau umrah
f.
Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
g.
Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
h.
Mengetahui bahawa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan
isteri
2.
Syarat bakal isteri
a.
Islam
b.
Perempuan yang tertentu
c.
Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
d.
Bukan seorang khunsa
e.
Bukan dalam ihram haji atau umrah
f.
Tidak dalam idah
g.
Bukan isteri orang
3.
Syarat wali
a.
Islam, bukan kafir dan murtad
b.
Lelaki dan bukannya perempuan
c.
Baligh
d.
Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
e.
Bukan dalam ihram haji atau umrah
f.
Tidak fasik
g.
Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
h.
Merdeka
i.
Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya
Sebaiknya bakal
isteri perlulah memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Sekiranya syarat wali
bercanggah seperti di atas maka tidak sahlah sebuah pernikahan itu. Sebagai
seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yang wajib
seperti ini. Jika tidak di ambil kira, kita akan hidup di lembah zina
selamanya.
4.
Syarat-syarat saksi
a.
Sekurang-kurangya dua orang
b.
Islam
c.
Berakal
d.
Baligh
e.
Lelaki
f.
Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
g.
Dapat mendengar, melihat dan bercakap
h.
Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan
dosa-dosa kecil)
i.
Merdeka
5.
Syarat ijab
a.
Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
b.
Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
c.
Diucapkan oleh wali atau wakilnya
d.
Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah (nikah kontrak, perkawinan(ikatan
suami isteri) yang sah dalam tempoh tertentu seperti yang dijanjikan dalam
persetujuan nikah muataah)
e.
Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
Contoh bacaan
Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada bakal suami: "Aku nikahkan/kahwinkan
engkau dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya
sebanyak RM 3000 tunai".
6.
Syarat qabul
a.
Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
b.
Tiada perkataan sindiran
c.
Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
d.
Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
e.
Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
f.
Menyebut nama bakal isteri
g.
Tidak diselangi dengan perkataan lain\
II.VI Modal Dalam Membangun Rumah Tangga
1.
Tak ada lagi aku dan kamu, kini semua jadi ‘kita’. Sudah waktunya untuk
kesampingkan ego
Detik di mana kamu
dinyatakan sah menjadi suami istri, saat itulah sudah tak ada lagi aku maupun
kamu, tapi semua menjadi ‘kita’. Menikah berarti mengesampingkan ego. Semua
keputusan dan juga kepentingan sudah saatnya tak bersentris terhadap diri
sendiri, tapi mengedepankan kepentingan keluarga.
2.
Mustahil jika sebuah pernikahan tak dihadapkan dengan masalah. Siapkan diri
untuk menjadi lebih kuat dan penuh pendirian
Menikah bukan
berarti akan dihindarkan dari masalah. Namanya juga hidup, tentu saja akan ada
saja masalah yang dihadapi. Pun dengan menjalani kehidupan rumah tangga. Maka
dari itu, sejak awal punya niatan untuk menikah, tanamkan pada dirimu dan
pasangan bahwa harus sama-sama punya pribadi yang kuat dan juga teguh
pendirian. Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan dihadapi ke depan.
3.
Tak hanya sekadar status, tapi banyak yang akan berubah setelah menikah.
Jadi, sudah bukan saatnya untuk hidup seenaknya
Bukan saatnya hidup
seenaknya lagi ketika sudah masuk dalam kehidupan rumah tangga. Tak hanya
sekadar status, tapi juga mengenai tanggung jawab, kebutuhan dan juga kebiasaan.
Selain tidur sudah ada yang menemani, sebagai istri, kamu juga sudah harus
memenuhi kebutuhan suami. Sedangakan untuk suami, sudah ada keluarga baru yang
wajib untuk dinafkahi. Rasanya, hidup seenaknya seperti saat single sudah bukan
waktunya lagi.
4.
Jodoh bukan berarti sama, tapi saling melengkapi. Temukan kecocokan dari
banyaknya perbedaan yang ada
Memilih yang
dicinta untuk akhirnya menjadi pasangan halal memang dilandasi rasa sayang dan
juga banyaknya kesamaan mulai dari prinsip hidup dan juga cara pandang. Tapi, bukan berarti tidak ada perbedaan
pendapat antara kamu dan dia. Masalah warna cat tembok, penataan letak lemari,
atau pemilihan nama anak tentu jadi hal lumrah kalau sampai terjadi pendapat
yang berseberangan. Pahamilah bahwa kalian adalah dua kepala dan sudah resmi
menjadi satu secara hukum dan agama, kalian akan menjadi satu dalam mengatasi
semua permasalahan. Oleh karena itu, penting hukumnya untuk menghargai pendapat
pasangan dan melihat hal dari sisi lain untuk mencari jalan tengahnya.
5.
Jaga romantisme dengan memiliki panggilan sayang, memberikan kejutan kecil
dan juga menjaga perilaku serta penampilan.
Ini kadang suka
disepelekan. Dikira yang membutuhkan hanya pengantin baru saja. Padahal justru
untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangga, memberi kejutan kecil pada
pasangan dan menjaga penampilan harus dilakukan tak pandang usia pernikahan.
Hal ini tentu saja agar benih-benih cinta tetap ada, meski pernikahan sudah
berjalan belasan, bahkan puluhan tahun. Kelihatannya memang cukup sepele, tapi
hal inilah yang akan membuat perasan cinta kalian tetap bersemi meski waktu,
tenaga dan pikiran sudah sibuk dengan urusan rumah tangga, pekerjaan, cicilan
mobil dan biaya sekolah anak.
6.
Keluarga dan pasangan memang jadi prioritas, tapi sesekali masih boleh kok
jalan bareng teman-teman
Setelah berumah
tangga, keluarga dan pasangan memang jadi prioritas. Tapi, bukan berarti
kemudian kamu jadi hilang dari peradaban pertemanan. Sesekali, pergilah keluar
bersama teman masa SMA atau kuliah. Tentu bertemu teman jadi refreshing
tersendiri dengan candaan receh membicarakan kelucuan jaman dulu. Ajaklah serta
pasangan agar mereka juga merasa ‘diakui’ di depan teman-temanmu.
7.
Semua hubungan pada akhirnya harus dilandasi rasa percaya. Kalau tidak,
semua akan percuma
Pada akhirnya,
semua hubungan harus dilandasi rasa percaya. Kalau tidak, semua akan percuma
begitu saja. Berumah tangga harusnya sih sudah tak lagi berani untuk main mata,
karena janji suci pernikahan di depan Tuhan sudah jadi keputusan mutlak yang
rasanya sakit jika harus diingkari.
8.
Persiapan mental dan fisik
Persiapan mental
dan fisik adalah hal yang utama ketika kamu ingin menikah. Siap mental
artinya kamu harus siap dalam mengarungi
bahtera rumah tangga, siap menghadapi segala resikonya. Sementara persiapan fisik, kamu dan calon
suami harus siap lahir batin, sehat secara fisik sehingga cukup tangguh dalam
membina rumah tangga.
9.
Kemantapan hati
Hal ini sangat
penting jika kamu ingin menikah. Karena itu sebelum kamu memutuskan menikah,
cobalah intropeksi diri. Kamu sudah sepenuhnya mantap dengan pasangan kamu. Kamu
harus bisa menerima kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri pasangan. Begitu
juga sebaliknya, Jangan sampai ada keragu-raguan ataupun keterpaksaan. Menikah
berarti kamu memilih pasangan yang akan menemani seumur hidup.
10.
Kesiapan financial
Meski banyak yang
bilang bahwa cinta adalah modal terbesar dalam pernikahan, tapi masalah
keuangan merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan. Kita tak bisa menutup
mata dengan banyaknya kasus pertengkaran rumah tangga, bahkan hingga
menyebabkan perceraian karena kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Menjalani hidup itu
butuh biaya apalagi saat setelah menikah tentu banyak pengeluaran yang harus
ditanggung bersama. Pastikan ketika ingin menikah, kondisi keuangan sudah
mencukupi. Paling tidak, kalian sudah memiliki penghasilan tetap dan dapat
bekerja sama memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga, dan tidak menjadi beban
keluarga masing-masing.
11.
Siap menjalani kehidupan yang berbeda
Menikah berarti
menjalani kehidupan baru, untuk itu kamu harus siap menghadapi semua hal yang
tak terduga. Kamu akan menjalani kehidupan yang berbeda dengan kehidupan kamu
ketika masih lajang. Untuk itu menikah harus didasari kepentingan bersama bukan
kepentingan pribadi. Jika sebelumnya kamu bebas hang out bersama teman-teman,
setelah menikah tentu semua harus atas dasar persetujuan suami. Apapun yang
akan kamu putuskan hendaknya dibicarakan bersama suami.
12.
Siap menghadapi masa depan yang baru
Menikah berarti
siap melangkah menuju masa depan. Bila pernikahan berlangsung baik maka masa
depan pun kemungkinan besar akan cerah. Setidaknya kalian bisa bersama-sama membangun
masa depan terbaik. Alangkah baiknya kamu dan pasangan mempersiapkan berbagai target dan hal-hal
yang ingin dicapai di masa depan. Pastikan kamu dan pasangan memiliki satu visi
misi yang jelas.
13.
Restu orang tua
Jangan sepelekan
restu orang tua. Karena dengan restu orang tua pernikahan akan berjalan lancar,
langgeng, bahagia serta berkah. Ingat
menikah bukan hanya menyatukan 2 insan manusia yang saling mencintai tapi juga
menyatukan 2 keluarga sekaligus.
14.
Siap dibatasi
Menikah mau tak
mau, kamu harus siap kehilangan kebebasan yang sebelumnya bisa kamu nikmati
saat gadis. Kamu tak bisa lagi seenaknya nongkrong di mall dengan teman-teman
tanpa sepengetahuan suami. Kamu ga bisa lagi menginap di rumah teman tanpa
seijin suami. Meski terkesan diatur, tapi ini merupakan hal positif, dimana
kamu akan lebih menghargai keberadaan suami.
15.
Hubungan seks
Meski bukan
prioritas, tak bisa dipungkiri hubungan intim merupakan hal yang penting.
Bahkan salah satu tujuan menikah adalah untuk menghalalkan hubungan intim. Maka
persiapkan dirimu untuk melayani suami ketika ingin berhubungan intim. Persiapkan
dirimu untuk hal satu ini. Lakukan dengan penuh cinta dan kasih sayang dengan
pasangan halalmu.
16.
Tidak selamanya indah
Menikah sejatinya
adalah moment yang paling menyenangkan dan membahagiakan. Apalagi jika kamu
menikah dengan orang yang sangat kamu cintai. Menjalani hubungan setelah
menikah tidak selamanya selalu indah dan mulus. Suatu saat kamu akan menemui
masalah dalam kehidupan rumah tangga. Salah satunya perbedaan pendapat yang
dapat memicu pertengkaran.
Ibarat berlayar,
kamu harus selalu siap menghadapi badai.dan gelombang yang menerpa. Jadilah
pribadi yang kuat, tegar dan berani. Jangan rapuh hanya dengan sedikit hantaman
ombak. Ingat jika kalian berdua mau bersama-sama mengayuh bahtera rumah tangga,
kalian akan sanggup melewati cobaan apapun.
17.
Visi pernikahan
Sebelum menikah
kamu juga harus merencanakan dan mempersiapkan apa saja rencana kamu kedepan setelah menikah. Seperti mau punya anak
berapa, tinggal dimana, dan tujuan apa yang ingin dicapai setelah punya anak,
dan masih banyak lagi. Dengan visi yang jelas pernikahanmu akan lebih terarah.
II.VII Kendala Dalam Membangun Rumah Tangga
1.
Masalah Keuangan
Setelah Anda
menikah, keuangan menjadi masalah dalam keluarga yang sering terjadi. Bahkan
mungkin banyak pernikahan yang akhirnya kandas gara-gara masalah finansial.
Kondisi yang biasa terjadi adalah saat dimana suami yang berpenghasilan
pas-pasan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Apalagi jika
sebelum menikah, istri terbiasa hidup enak dan setelah menikah, dia tidak mau
menurunkan standar kehidupannya. Maka, akan sering timbul pertengkaran yang
bisa menyebabkan perpisahan.
Selain itu, banyak
diantara pasangan yang baru menikah yang tidak bisa mengatur keuangan rumah
tangga dengan baik. Kebiasaan pacaran seperti sering makan diluar, jalan-jalan
atau berbelanja barang-barang yang tidak penting masih dilakukan.
Ujung-ujungnya demi memenuhi kebutuhan harus sampai berhutang. Pada akhirnya hanya
akan saling menyalahkan.
Penyelesaian :
Cara mengatasi
masalah ini, sebaiknya Anda berdua diskusikan bersama-sama. Cari solusi terbaik
bagaimana cara mengatur keuangan agar cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga. Percayakan perencanaan keuangan kepada istri karena suami sibuk
bekerja. Saat awal-awal menikah, biasakan untuk hidup hemat agar tidak terjadi
devisit keuangan.
Jika memang gaji
suami tidak bisa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, istri bisa membantu
suami dalam mencari nafkah. Di jaman sekarang ini ada banyak peluang usaha
untuk ibu rumah tangga yang bisa Anda lakukan dirumah seperti membuka usaha
sembako, warung makan sederhana atau membuat kue pesanan.
2.
Belum Diberi Keturunan
Ketika dua insan
memutuskan menikah, hal yang muncul dalam benak kalian tentu segera memiliki
momongan. Akan tetapi, anak adalah titipan Tuhan yang mana kita tidak tahu
kapan akan diberikan.
Satu dua bulan
mungkin masih belum terasa. Namun, ketika usia pernikahan sudah mencapai satu
tahun dan Anda belum dikaruniai anak. Maka, akan timbul masalah dalam rumah
tangga Anda. Apalagi jika para kerabat atau tetangga pasti sudah menanyakan hal
ini pada Anda berdua. Jika sudah demikian, akan timbul saling salah
menyalahkan. Terutama di pihak suami.
Penyelesaian :
Untuk mengatasi hal
ini cobalah untuk sikapi secara bijaksana. Sebagai seorang suami, Anda tidak
perlu menyalahkan istri karena belum bisa memberi keturunan. Berpikirlah
positif bahwa Tuhan belum mengijinkan Anda mempunyai anak. Teruslah berdoa
kepada Yang Maha Kuasa dan tetaplah berikhtiar.
Pergilah ke dokter
untuk mengecek kesuburan masing-masing. Siapa tahu ada masalah yang membuat
istri belum bisa hamil. Jika memang ada masalah, pasti ada solusi untuk
menanganinya. Jika sama-sama subur, berarti Tuhan memang belum berkenan
memberikan keturunan. Yang terpenting jangan saling menyalahkan.
3.
Hadirnya Orang Ketiga
Perselingkuhan
merupakan masalah dalam rumah tangga yang paling serius. Banyak kasus semacam
ini yang membuat pasangan suami istri harus bercerai karena hadirnya orang
ketiga. Wajar memang karena orang ketiga adalah sumber malapetaka yang membuat
salah satu pasangan akhirnya berkhianat.
Penyebab orang
berselingkuh pun bermacam-macam mulai dari tergoda dengan laki-laki/wanita
lain, masalah keuangan, ketidakpuasan di ranjang dan lain-lain.
Penyelesaian :
Untuk menyikapi
masalah ini, Anda sebaiknya mengikuti kata pepatah ini” jangan bermain dengan
api jika tidak tidak ingin terbakar”. Baik Anda maupun pasangan jangan pernah
coba-coba untuk selingkuh karena siapapun orang yang dikhianati cintanya tentu
akan sakit hati.
Untuk menghindari
perceraian akibat hadirnya orang ketiga. Perlu adanya komitmen yang kuat
diantara kalian. Jagalah hati dari godaan lawan jenis lain. Anda sebagai suami
harus ingat bahwa Anda bekerja tujuannya untuk menafkahi istri dan anak bukan
malah main serong. Begitu juga istri dirumah mengabdi dengan mengurus rumah
tangga bukan malah sibuk chating dan bermedsos dengan laki-laki lain.
4.
Penyesuaian Diri yang Lambat
Menikah sama halnya
dengan menyatukan dua kepribadian yang berbeda untuk membentuk sebuah kesatuan
yang utuh sampai akhir hayat. Namun, banyak pasangan yang lambat dalam
menyesuaikan diri dari yang sebelumnya berstatus lajang kemudian menikah.
Seorang suami yang
biasanya bekerja untuk diri sendiri sekarang memiliki tanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara istri yang dulunya terbiasa dilayani
sekarang harus melayani suami. Jika Anda lambat dalam menyesuaikan perubahan
tersebut. Akan timbul pertengkaran-pertengkaran kecil yang akhirnya bisa
menjadi permasalahan keluarga yang serius.
Penyelesaian :
Oleh sebab itu,
segeralah menyesuaikan diri. Sekarang Anda berdua telah berubah status menjadi
sebuah keluarga yang utuh yang mana memiliki tanggung jawab dan tugas
masing-masing. kalian sudah tidak bebas lagi merengek pada orang tua
sebagaimana ketika kalian masih lajang.
5.
Ego yang Tinggi Satu Sama Lain
Seperti pada poin
sebelumnya, menikah itu butuh penyesuaian diri. Dan masalah dalam rumah tangga
yang sering timbul adalah masih seringnya mempertahankan ego masing-masing. Hal
ini terjadi karena Anda berdua masih terbawa kebiasaan saat lajang.
Ketika masih
pacaran tentunya kalian masih belum tahu sifat masing-masing. Yang kalian tahu
bahwa kalian sama-sama cocok sehingga memutuskan untuk menikah. Namun, setelah
menikah barulah Anda mulai tahu sifat asli pasangan Anda. Hal inilah yang
membuat kalian sering bertengkar hanya karena keegoisan yang tinggi.
Penyelesaian :
Seiring dengan berjalannya
waktu. Masalah ego akan bisa terselesaikan dengan sendirinya. Hal ini
dikarenakan Anda maupun pasangan sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan atau
sifat masing-masing. Tinggal bagaimana Anda menyikapinya.
6.
Kurangnya Tanggung Jawab
Masalah dalam rumah
tangga berikutnya adalah kurangnya tanggung jawab baik suami maupun istri. Hal
ini terjadi karena kurangnya kesadaran akan peran masing-masing dalam menjalani
kehidupan rumah tangga.
Sebagai suami Anda
sering pulang telat dari kantor karena asyik berkumpul dengan teman-teman atau
Anda sebagai istri terlalu sibuk ngerumpi sehingga lupa mengurus anak dan
mengabaikan rumah. Inilah bentuk kurangnya tanggung jawab yang biasa sering
terjadi.
Penyelesaian :
Diskusikanlah
kepada pasangan tentang peran dan tanggung jawab masing-masing. Berusahalah
untuk bertanggung jawab akan apa yang sudah di komitmenkan. Terutama masalah
mengurus anak. Besarkanlah buah hati dengan kasih sayang secara bersama-sama
jangan hanya membebankannya kepada istri.
7.
Istri Tidak Bisa Mengurus Rumah Tangga
Urusan rumah tangga
itu sangat banyak mulai dari kebersihan rumah, memasak, mengurus anak sampai
mengatur keuangan keluarga. Dan ketika hal ini tidak bisa dijalankan dengan
baik, maka akan menimbulkan masalah rumah tangga akibat kesalahan istri.
Biasanya akan timbul pertengkaran-pertengkaran yang bisa menyebabkan keretakan
dalam rumah tangga.
Penyelesaian :
Dalam mengatasi
masalah ini sebaiknya jangan membebankan urusan rumah tangga hanya kepada
istri. Usahakan meskipun sibuk bekerja, suami sebisa mungkin meringankan tugas
istri agar tercipta rumah tangga yang harmonis.
8.
Suami Yang Temperamental dan Main Tangan
Sifat yang
temperamental biasa dimiliki oleh laki-laki. Jika Anda mengaplikasikan kepada
pasangan tentu bisa menjadi masalah yang serius. Apalagi jika sampai main
tangan. Tentunya akan menimbulkan tekanan dan trauma bagi istri. Ujung-ujungnya
istri menjadi takut dan menutup diri terhadap Anda.
Masih untung jika
istri mau menerima sifat keras Anda. Bagaimana jika dia mengadukan kepada orang
tuanya. Tentunya mereka tidak akan terima begitu saja dan bisa saja melaporkan
kepada pihak berwajib atas tuduhan KDRT.
Penyelesaian :
Sifat temperamental
dan main tangan sebaiknya memang Anda hilangkan saat sudah menjalani kehidupan
rumah tangga. Ingat istri adalah orang yang harusnya Anda sayangi dan lindungi.
Jangan biarkan istri tersakiti oleh tangan Anda sendiri.
9.
Cemburu yang Berlebihan
Sifat cemburu
memang menjadi suatu keharusan bagi setiap pasangan. Namun, cemburu yang
berlebihan bisa menjadi masalah dalam rumah tangga. Suami baru ngobrol dengan
perempuan, istri cemburu sampai tidak mau ngomong berhari-hari. Begitu juga
suami yang langsung banting HP saat istri telepon dengan laki-laki lain. Ini
adalah contoh bentuk cemburu yang berlebihan yang biasanya menimbulkan
pertengkaran yang hebat.
Penyelesaian :
Janganlah Anda
dibutakan dengan rasa cemburu yang berlebihan yang mana hanya akan membuat
hidup Anda tidak tenang. Lebih baik saling menjaga kepercayaan. Anda bisa
bertanya secara baik-baik kepada pasangan ketika Anda mendapati dia sedang
berinteraksi dengan orang lain. Mungkin saja itu memang keperluan bisnis atau
sesuatu hal yang sangat penting.
10.
Tidak Menghargai Perasaan Pasangan
Sifat egois dan mau
menang sendiri dari salah satu pasangan bisa menimbulkan masalah dalam keluarga
baru Anda. Ini biasa dilakukan oleh para suami. Pasangan akan merasa rendah
diri ketika Anda sudah tidak menghargai perasaannya. Anda dengan mudahnya
melecehkan bahkan merendahkan peran pasangan.Apalagi jika Anda merasa bahwa
andalah yang paling berperan dalam memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.
Penyelesaian :
Hilangkanlah sifat
arogan Anda. Menghargai satu sama lain adalah kunci kebahagian dalam rumah
tangga. Mungkin Anda adalah orang yang mampu mencari banyak uang diluar sana.
Namun bayangkan apa yang terjadi jika Anda berperan sebagai seorang istri.
Dimana hari-harinya di sibukkan dengan mengurus rumah dan anak. Sebagai
laki-laki Anda belum tentu mampu.
11.
Mertua yang Suka Ikut Campur
Dalam membina
hubungan rumah tangga bukan berarti Anda bisa sepenuhnya lepas dari orang tua
maupun mertua. Mereka akan tetap mengawasi kalian dan saat mereka terlalu ikut
campur maka akan menyebabkan masalah dalam keluarga Anda.
Penyelesaian :
Solusinya tetaplah
bersikap sabar dalam menghadapi mereka. Anggaplah yang mereka lakukan adalah
bentuk nasihat agar rumah tangga Anda bisa awet selamanya. Jangan sekali-kali
Anda membantah apalagi dengan nada keras pada mertua Anda. Karena bagaimanapun
merekalah yang telah merawat pasangan Anda jauh sebelum Anda mengenalnya.
12.
Hubungan di Ranjang
Ketidakpuasan
hubungan diranjang menjadi masalah dalam rumah tangga yang cukup serius.
Seperti di lansir dari your tango bahwa
15 % istri dan 25 % suami sudah pernah melakukan hubungan seksual dengan
orang lain.
Kasus-kasus
perselingkuhan tersebut terjadi banyak diakibatkan karena ketidakpuasan
hubungan intim. Ketika sang suami tidak merasa puas, dia akan mencari pelarian
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Begitu juga sebaliknya.
Penyelesaian :
Ingatlah bahwa dia
adalah pasangan sah Anda. Ketika Anda merasa kurang puas dalam hal hubungan di
ranjang cobalah untuk terbuka kepadanya. Tentu dia akan mengerti karena
bagaimanapun juga kalian adalah pengantin baru yang belum terlalu banyak
pengalaman. Carilah untuk penyelesaian masalah ini agar tidak berlarut-larut.
13.
Perbedaan Pendapat
Menikah itu
menyatukan dua orang berlainan jenis yang berbeda. Mulai dari sifat, karakter,
kepribadian maupun kebiasaan. Sehingga wajar terjadi perbedaan pendapat
diantara kalian. Namun, jika tidak bisa mengendalikan ego masing-masing.
Perbedaan pendapat bisa menimbulkan permasalahan yang awalnya kecil bisa
menjadi besar.
Penyelesaian :
Perbedaan pendapat
dalam menjalani kehidupan rumah tangga memang sering terjadi. Bersikaplah untuk
bisa saling menghargai pendapat masing-masing. Sikapilah dengan kepada dingin
dan cari solusi terbaik saat terjadi beda pendapat.
14.
Kurangnya Komunikasi
Masalah dalam
keluarga memang banyak sekali. Dan inti dari semua masalah tersebut sebenarnya
adalah kurangnya komunikasi. Hal ini terjadi biasanya karena suami yang sibuk
bekerja sehingga jarang berinteraksi dengan istri.
Apalagi jika
sama-sama bekerja. Tentunya akan sedikit waktu yang bisa dihabiskan untuk
menjalin komunikasi yang intensif.
Penyelesaian :
Cara mengatasi
masalah seperti sebenarnya cukup mudah. Apalagi di jaman sekarang dimana
peralatan komunikasi semakin cangkih. Disela-sela jam istirahat, Anda bisa
menelepon atau malah video call untuk sekedar menanyakan kabar pasangan Anda.
Selain itu,
pergunakanlah waktu libur khusus untuk keluarga. Anda bisa mengajak keluarga
jalan-jalan untuk sekedar refresing dan mempererat komunikasi dengan pasangan.
Masalah dalam rumah
tangga bagi pasangan yang baru menikah memang banyak sekali. Oleh sebab itu,
Anda harus pintar menyikapi masalah tersebut. Jangan sampai impian dan janji
suci untuk bisa hidup bersama selamanya kandas hanya gara-gara masalah sepele.
II.VIII Perceraian
1.
Hukum Perceraian dalam Islam beserta Dalilnya
Dalam hubungan
berumah tangga, pastilah kita mengharapkan hubungan yang langgeng, bahagia dan
terus bersama hingga maut memisahkan. Masalah dalam kehidupan berumah tangga
memang pasti ada. Namun, sebagai pasangan suami istri yang telah berkomitmen di
hadapan Allah haruslah berusaha untuk menyelesaikan segala permasalahan rumah
tangga bersama-sama. Sayangnya, dewasa ini makin banyak pasangan suami istri
yang merasa bahwa permasalahan mereka tidak akan terselesaikan kecuali dengan
bercerai.
Perceraian atau
bisa juga disebut talak adalah pemutusan hubungan suami istri dari hubungan
pernikahan yang sah menurut aturan agama Islam dan negara. Perceraian dianggap
sebagai cara terakhir yang bisa diambil oleh pasangan suami istri untuk
menyelesaikan masalah yang mungkin mereka miliki. Padahal tidak menutup
kemungkinan jika keputusan bercerai yang mereka ambil akan membawa masalah
berikutnya, terutama ang berkaitan dengan hak asuh anak. Oleh karena itu,
sebaiknya kita sebisa mungkin berusaha untuk mencegah terjadinya perceraian
ini.
2.
Definisi Perceraian
Menurut syariat
Islam, cerai adalah melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan
perkawinan antara suami dan istri. dengan adanya perceraian ini, maka gugurlah
hak dan kewajiban mereka sebagai suami dan istri. artinya, mereka tidak lagi
boleh berhubungan sebagai suami istri, menyentuh atau berduaan, sama seperti
ketika mereka belum menikah dulu.
3.
Perceraian berdasarkan al Quran
Islam telah
mengatur segala sesuatu dalam al Quran. Tidak hanya aturan dalam beribadah,
seperti sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain, Islam juga memberi aturan
pada manusia dalam kehidupannya bersosialisasi. Bahkan, al Quran juga mengatur
adab dan aturan dalam berumah tangga, termasuk bagaimana jik ada masalah yang
tak terselesaikan dalam rumah tangga tersebut.
Islam memang
mengizinkan perceraian, tapi Allah membenci perceraian itu. Itu artinya,
bercerai adalah pilihan terakhir bagi pasangan suami istri ketika memang tidak
ada lagi jalan keluar lainnya. Dalam surat al Baqarah ayat 227 disebutkan, “Dan jika mereka berketetapan hati hendak
menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Ayat
tentang hukum perceraian ini berlanjut pada surat al Baqarah ayat 228 hingga
ayat 232.
Dalam ayat-ayat
surat al Baqarah di atas, diterangkan aturan-aturan mengenai hukum talak, masa
iddah bagi istri, hingga aturan bagi wanita yang sedang dalam masa iddahnya.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa agama Islam memberi aturan yang sangat
lengkap tentang hukum perceraian. Tentu saja aturan-aturan ini sangat
memperhatikan kemaslahatan pihak suami dan istri dan mencegah adanya kerugian
di salah satu pihak.
Tidak hanya di
surat al Baqarah, di surat ath-Thalaq ayat 1-7 juga dibahas aturan-aturan dalam
berumah tangga. Di situ disebutkan tentang kewajiban suami terhadap istri
hingga bagaimana aturan ketika seorang istri berada dalam masa iddah. Dari
beberapa ayat yang telah dibahas, maka kita ketahui bahwa dalam Islam
perceraian itu tidak dilarang, namun harus mengikuti aturan-aturan tertentu.
4.
Jenis-jenis Perceraian
Berikut ini akan
dibahas jenis-jenis cerai yang bisa dibedakan dari siapa kata cerai tersebut
terucap.
a)
Cerai Talak oleh Suami
Perceraian ini yang
paling umum terjadi, yaitu si suami yang menceraikan istrinya. Hal ini bisa
saja terjadi karena berbagai sebab. Dengan suami mengucapkan kata talak pada
istrinya, masa saat itu juga perceraian telah terjadi, tanpa perlu menunggu keputusan
pengadilan.
·
Talak Raj’i
Pada talak raj’I,
suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada istrinya. Suami boleh rujuk
kembali dengan istrinya ketika masih dalam masa iddah. Namun, jika masa iddah
telah habis, suami tidak boleh lagi rujuk kecuali dengan melakukan akad nikah
baru.
·
Talak Bain
Talak Baik adalah
perceraian dimana suami mengucapkan talak tiga kepada istrinya. Dalam kondisi
ini, istri tidak boleh dirujuk kembali. Suami baru akan boleh merujuk istrinya
kembali jika istrinya telah menikah dengan lelaki lain dan berhubungan suami
istri dengan suami yang baru lalu diceraikan dan habis masa iddahnya.
·
Talak Sunni
Talak sunni ini
adalah ketika suami mengucapkan cerai talak kepada istrinya yang masih suci dan
belum melakukan hubungan suami istri saat masih suci tersebut.
·
Talak Bid’i
Suami mengucapkan
talak kepada istrinya saat istrinya sedang dalam keadaan haid atau ketika
istrinya sedang suci namun sudah disetubuhi.
·
Talak Taklik
Pada talak taklik,
seorang suami akan menceraikan istrinya dengan syarat-syarat tertentu. Dalam
hal ini, jika syarat atau sebab yang ditentukan itu berlaku, maka terjadilah
perceraian atau talak.
b)
Gugat Cerai Istri
Berbeda dengan
talak yang dilakukan oleh suami, gugat cerai istri ini harus menunggu keputusan
dari pengadilan.
·
Fasakh
Fasakh merupakan
pengajuan cerai tanpa adanya kompensasi dari istri ke suami akibat beberapa
perkara, antara lain suami tidak memberi nafkah lahir batin selama 6 bulan
berturut-turut, suami meninggalkan istri selama 4 bulan berturut-turut tanpa
kabar, suami tidak melunasi mahar yang disebutkan saat akad nikah (baik
sebagian atau seluruhnya) sebelum terjadinya hubungan suami istri, atau adanya
perlakuan buruk dari suami kepada istrinya.
·
Khulu’
Adalah perceraian
yang merupakan buah kesepakatan antara suami dan istri dengan adanya pemberian
sejumlah harta dari istri kepada suami. Terkait dengan hal ini terdapat pada
surat al Baqarah ayat 229.
5.
Hukum Perceraian
Hukum perceraian
dalam Islam bisa beragam. Berdasarkan akar masalah, proses mediasi dan lain
sebagainya, perceraian bisa bernilai wajib, sunnah, makruh, mubah, hingga
haram. Berikut ini akan dibahas perincian hukum perceraian dalam Islam:
a.
Perceraian Wajib
Sebuah perceraian
bisa memiliki hukum wajib, jika pasangan suami istri tersebut tidak lagi bisa
berdamai. Mereka berdua sudah tidak lagi memiliki jalan keluar lain selain
bercerai untuk menyelesaikan masalahnya. Bahkan, setelah adanya dua orang wakil
dari pihak suami dan istri, permasalahan rumah tangga tersebut tidak kunjung
selesai dan suami istri tidak bisa berdamai. Biasanya, masalah ini akan dibawa
ke pengadilan dan jika pengadilan memutuskan bahwa talak atau cerai adalah
keputusan yang terbaik, maka perceraian tersebut menjadi wajib hukumnya.
Selain adanya
permasalahan yang tidak bisa diselesaikan, ada lagi alasan lain yang membuat
bercerai menjadi wajib hukumnya. Yaitu ketika si istri melakukan perbuatan keji
dan tidak lagi mau bertaubat, atau ketika istri murtad atau keluar dari agama
Islam. Dalam masalah ini, seorang suami menjadi wajib untuk menceraikannya.
b.
Perceraian Sunah
Ternyata,
perceraian juga bisa mendapatkan hukum sunnah ketika terjadi syarat-syarat
tertentu. Salah satu penyebab perceraian menjadi sunnah hukumnya adalah ketika
seorang suami tidak mampu menanggung kebutuhan istrinya. Selain itu, ketika
seorang istri tidak lagi menjaga martabat dirinya dan suami tidak mampu lagi
membimbingnya, maka disunnahkan untuk seorang suami menceraikannya.
c.
Perceraian Makruh
Jika seorang istri
memiliki akhlak yang mulia, mempunyai pengetahuan agama yang baik, maka hukum
untuk menceraikannya adalah makruh. Inilah hukum asal dari perceraian. Hal ini
dianggap suami tersebut sebenarnya tidak memiliki sebab yang jelas mengapa
harus menceraikan istrinya, jika rumah tangga mereka sebenarnya masih bisa
diselamatkan.
d.
Perceraian Mubah
Ada beberapa sebab
tertentu yang menjadikan hukum bercerai adalah mubah. Misalnya, ketika suami
sudah tidak lagi memiliki keinginan nafsunya atau ketika istri belum datang
haid atau telah putus haidnya.
e.
Perceraian Haram
Ada kalanya
perceraian yang dilakukan memiliki hukum haram dalam Islam. Hal ini terjadi
jika seorang suami menceraikan istrinya pada saat si istri sedang haid atau
nifas, atau ketika istri pada masa suci dan di saat suci tersebut suami telah
berjimak dengan istrinya. Selain itu, seorang suami juga haram untuk
menceraikan istrinya jika bertujuan untuk mencegah istrinya menuntut hartanya.
Tidak hanya itu, diharamkan juga untuk mengucapkan talak lebih dari satu kali.
6.
Rukun Perceraian
Dalam proses
perceraian pun, Islam telah memiliki aturan atau rukun sendiri yang harus
dipenuhi. Hal ini merupakan syarat sahnya perceraian, sehingga jika tidak
dipenuhi maka tidak sah pula proses perceraian tersebut. Berikut ini adalah
rukun perceraian yang harus diketahui:
a.
Rukun Perceraian untuk Suami
Perceraian tersebut
akan menjadi sah, apabila seorang suami berakal sehat, baligh dan dengan
kemauan sendiri. Maka, jika suami tersebut menceraikan istrinya karena ada
paksaan dari pihak lain, seperti orang tua ataupun keluarganya, maka perceraian
tersebut menjadi tidak sah.
b.
Rukun Perceraian untuk Istri
Sementara itu,
seorang istri akan sah perceraiannya, jika akad nikahnya dengan suami sah dan
dia belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya.
II.IX Masa Iddah
1.
Pengertian Masa‘Iddah
Masa ‘iddah adalah
istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة) yang bermakna
perhitungan (الإِحْصَاء). Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa
suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah.
Menurut istilah para
ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita
menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya
atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau
berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah
ditentukan.
Ada yang
menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk
memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan
rasa sedih atas sang suami.
2.
Hikmah ‘Iddah
Para ulama
memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa ‘iddah, diantaranya:
a.
Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.
b.
Syariat Islam telah mensyariatkan masa ‘iddah untuk menghindari
ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk
segera menikah.
c.
Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya
sebuah akad pernikahan.
d.
Masa ‘iddah disyari’atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika
hendak memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
e.
Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya
apabila wanita yang dicerai sedang hamil.
3.
Dasar Pensyariatannya
Masa iddah
sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini
tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah
itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.
Dalil dari al-Qur`ân yaitu
firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” [al-Baqarah/2:228]
Sedangkan dalil dari sunnah
banyak sekali, diantaranya :
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهَا سُبَيْعَةُ
كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى فَخَطَبَهَا أَبُو السَّنَابِلِ
بْنُ بَعْكَكٍ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ
حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ فَمَكُثَتْ قَرِيبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمَّ
جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي
“Dari Ummu Salamah istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama
Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin
Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi
Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang
paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Menikahlah!”” [HR al-Bukhâri no. 4906].
4.
Aturan-Aturan Dalam `Iddah
Masa iddah
diwajibkan pada semua wanita yang berpisah dari suaminya dengan sebab talak, khulu’
(gugat cerai), faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal mati, dengan
syarat sang suami telah melakukan hubungan suami istri dengannya atau telah
diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya. Berdasarkan
ini, berarti wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum
digauli atau belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak memiliki masa
iddah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ
فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka
‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” [al-Ahzâb/33:49]
Berdasarkan
keterangan di atas dan berdasarkan penyebab perpisahannya, masalah ‘iddah ini
dapat dirinci sebagai berikut :
a.
Wanita Yang Ditinggal Mati Oleh Suaminya
Wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :
·
Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka
masa menunggunya (‘iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan
firman Allâh Azza wa Jalla,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ
أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
[ath-Thalaq/65:4].
Keumuman ayat ini
di kuatkan dengan hadits al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhu yang
berbunyi :
أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ
نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
“Subai’ah al-Aslamiyah
Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia,
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta idzin kepada
beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera
menikah (lagi).” [al-Bukhâri no. 5320 dan Muslim no.1485].
·
Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah
empat bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila
telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu
perbuat.” [al-Baqarah/2: 234]
b.
Wanita Yang Diceraikan
Wanita yang dicerai
juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’i (thalak yang
bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak bâ’in (thalak tiga).
Ø
Wanita yang dicerai dengan talak raj’i terbagi menjadi beberapa :
·
Wanita yang masih haidh
Masa ‘iddah wanita
jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” [al-Baqarah/2: 228]
Menurut pendapat
yang rajih, quru’ artinya haidh, berdasarkan hadits A’isyah Radhiyallahu anhuma
yang berbunyi :
أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ
فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ
الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا
“Sesungguhnya ummu Habibah
pernah mengalami pendarahan (istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk
meninggalkan shalat pada hari-hari quru’nya (haidhnya).” [HR Abu Dâud no. 252
dan dishahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dâud]
Oleh karena itu
Ibnul Qayyim rahimahullah merajihkan pendapat ini dan mengatakan, “Lafazh quru’
tidak digunakan dalam syariat kecuali untuk pengertian haidh dan tidak ada satu
pun digunakan untuk pengertian suci (thuhr), sehingga memahami pengertian quru’
dalam ayat ini dengan pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih
baik. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang kena
darah istihâdlah :
دَعِيْ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ
“Tinggalkan shalat selama
masa-masa haidhmu.”
·
Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh atau sudah
manopause .
Bagi wanita yang
seperti ini masa ‘iddahnya adalah tiga bulan, seperti dijelaskan Allâh Azza wa
Jalla dalam firman-Nya:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ
مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي
لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang
tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” [at-Thalaq/65:4]
·
Wanita Hamil.
Wanita yang hamil
bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan melahirkan, berdasarkan
firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ
أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
[ath-Thalaq/65:4]
·
Wanita yang terkena darah istihadhah.
Wanita yang terkena
darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan wanita haidh. Kemudian bila ia
memiliki kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan
kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka
selesailah iddahnya.
Ø
Wanita yang ditalak tiga (talak baa’in).
Wanita yang telah
di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak
sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wanita
yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh.
Dengan haidh sekali
berarti sudah terbukti bahwa rahim kosong dari janin dan setelah itu ia boleh
menikah lagi dengan lelaki lain.
Ø
Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’).
Wanita yang
berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh, sebagaimana
ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ
ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
“Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu
anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya untuk menunggu sekali haidh.” [HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan
dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950].
Juga hadits yang berbunyi :
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ
بْنِ عَفْرَاءَأَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ
أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
“Dari ar-Rubayyi’ bintu
Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau mengajukan gugat cerai di zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya untuk menunggu iddahnya satu kali haidh.” [HR at-Tirmidzi dan
dishahihkan al-Albâni dalm Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 945].
5.
Perubahan Standar Masa ‘Iddah Dari Haidh Ke Hitungan Bulan
Pada asalnya masa
iddah seorang itu menggunakan satu standar dari sejak mulai sampai akhir. Namun
terkadang karena suatu sebab terjadi perubahan standar. Misalnya, apabila
seorang suami mentalak istrinya yang masih aktif haidh, kemudian sebelum masa
‘iddahnya selesai, sang suami meninggal dunia. Wanita seperti ini memiliki dua
keadaan :
a.
Apabila talak tersebut masih talak raj’i (talak satu dan dua), maka masa
‘iddah yang wajib diselesaikan oleh wanita ini bukan lagi dengan hitungan tiga
kali haidh tapi sudah berpindah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari. Karena statusnya masih tetap sebagai
istri. Talak raj’i tidak menghilangkan status istri pada seorang wanita. Oleh
karena itu, wanita yang ditalak dengan talak raj’i masih saling mewarisi dengan
suaminya, jika salah satunya meninggal sementara sang istri masih dalam masa
‘iddah.
b.
Apabila talak tersebut talak tiga (talak bâ`in), maka ia tetap hanya
menyempurnakan sekali haidh saja dan tidak berubah ke ‘iddah wanita yang
ditinggal mati suaminya. Karena hubungan sebagai suami istri telah terputus
sejak talak tiga itu sah. Talak tiga menyebabkan status istri pada seorang
wanita hilang. Sehingga pada kejadian di atas kematian sang suami terjadi
setelah si wanita bukan sebagai istrinya lagi.
6.
Perubahan Standar Masa ‘Iddah Dari Hitungan Bulan Ke Hitungan Haidh
Apabila seorang
wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena tidak haidh, baik karena
masih kecil atau telah memasuki masa menopause, namun jika disaat menjalani
masa ‘iddah ini mengeluarkan haidh, maka wajib baginya untuk pindah dari
hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan bulan adalah pengganti dari
haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan tidak boleh dipakai selama
masih ada haidh yang merupakan standar pokok.
Apabila masa ‘iddah
dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian baru mengalami haidh ,
maka tidak wajib memulai masa iddah dari awal lagi dengan hitungan haidh.
Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya berlalu.
Apabila seorang
wanita memulai hitungan masa ‘iddahnya dengan haidh atau bulan kemudian
ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka ‘iddahnya berubah menjadi
‘iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.
II.X Rujuk
1.
Hukum Rujuk
Asal hukum Rujuk
adalah boleh, bahkan Rasulullah Saw, menganjurkan untuk rujuk demi
kemaslahatan.
“Dari Ibnu Umar ra.
diriwayatkan ketika ia menceraikan istrinya, Nabi Saw bersabda kepada Umar
(ayah Ibnu Umar), ‘Suruh ia merujuk istrinya’.” (Muttafaq ‘alaih)
Kemudian untuk
hukum rujuk dalam sebuah pernikahan ada empat yaitu haram, makruh, sunnah dan
wajib. Untuk lebih lengkapnya mengenai penjelasan tentang hukum rujuk adalah
sebagai berikut:
a.
Haram: Apabila dengan melakukan rujuk pihak istri dirugikan, seperti
keadaan lebih menderita dibandingkan dengan sebelumnya.
b.
Makruh: Apabila jika diketahui bahwa meneruskan perceraian lebih bermanfaat
bagi keduanya jika dibandingkan dengan mereka melakukan rujuk.
c.
Sunah: Apabila jika diketahui bahwa dengan rujuk lebih bermanfaat bagi
kedua belah pihak dibandingkan dengan meneruskan perceraian.
d.
Wajib: Khusus bagi seorang laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika
salah seorang ditalak sebelum gilirannya disempurnakan.
2.
Rukun dan Syarat Rujuk
Ø
Istri dengan syarat:
a.
Sudah digauli oleh suaminya, jika belum digauli kemudian ditalak, maka
jatuh talak ba’in sughra, maka istri tidak boleh dirujuk oleh mantan suaminya.
b.
Talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i bukan talak ba’in, khuluk dan
fasakh.
c.
Masih dalam masa iddah.
Ø
Suami dengan syarat:
a.
Baligh
b.
Sehat Akalnya
c.
Atas kemauan sendiri (tidak dipaksa)
3.
Shighat (ucapan) Rujuk
Shighat ini bisa
dengan terang-terangan dan bisa pula dengan sindiran. dengan terang-terangan
misalnya, “saya ingin rujuk denganmu”. Dengan kata-kata sindiran misalnya “Saya
pegang kembali engkau”, “Saya bersatu kembali denganmu”, dan kata-kata yang
lain. Akan tetapi rujuk dengan kata-kata kiasan harus dibarengi dengan niat
merujuk. Sebab kalau tidak maka rujuknya tidak sah.
4.
Saksi
Allah Swt berfirman
yang artinya:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا
الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
Artinya : “Maka bila mereka
telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan
baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah.” (QS At-Talaq: 2)
5.
Hikmah Rujuk
Islam memberikan
kepada mantan pasangan suami istri untuk rujuk kembali, selama talak yang dijatuhkan
suami adalah talak raj’i. Sebab dibalik dibolehkannya rujuk ini terdapat
nilai-nilai positif dan baik bagi mantan pasangan tersebut maupun bagi
anak-anaknya. Diantara nilai-nilai positif tersebut adalah:
a.
Sebagai sarana untuk mempertimbangkan kembali perceraian yang telah
dilakukan, apakah perceraian tersebut disebabkan emosi, hawa nafsu, atas
semata-mata karena kemaslahatannya.
b.
Sebagai sarana untuk mempertanggungjawabkan anak-anak mereka secara
bersama-sama, baik dalam pemeliharaan, pendidikan, nafkah dan lain-lainnya.
c.
Sebagai sarana untuk menjalin kembali pasangan suami istri yang bercerai,
sehingga pasangan tersebut bisa lebih hati-hati, saling menghargai dan
menghormati, yang pada akhirnya akan tercipta pasangan yang serasi dan
harmonis.
d.
Rujuk berarti juga islah, yaitu perbaikan hubungan antara dua manusia atau
lebih. Sehingga akan timbul kebaikan dan rasa saling menyayangi yang lebih
besar.
e.
Rujuk akan menghindari perpecahan hubungan kekerabatan di antara keluarga
suami atau istri.
f.
Rujuk dapat menghindari perbuatan dosa dan maksiat, baik yang mungkin
dilakukan oleh mantan suami atau mantan istri.
II.XI Hak dan Kewajiban Suami-Istri
1.
Kewajiban Suami dan Hak Istri
Suami harus bisa
membimbing istrinya dengan baik dan sabar menuju kebaikan-kebaikan dan ibadah.
Mengajari istrinya bagaimana bersuci yang benar sesuai perintah agama, juga
membimbing istrinya dengan benar tatkala ia haid, ketika ia shalat serta ketika
istri melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang lain.
Firman Allah SWT
dalam Surat an Nisaa: 19:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah istri-istri mu
sekalian dengan baik”.
Lalu dalam Surat al Baqarah:
228 yang berbunyi:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيْمٌ
“Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Begitu pula bagi
istri-istri mereka, wajib mempergauli suami mereka dengan baik. Bagi Laki-laki
wajib kepada istri-istri mereka mempergauli
dengan baik.
Jadi, inilah
pernikahan yang agung, pernikahan yang baik, pernikahan yang sesuai perintah
Allah. Kedua belah pihak dituntut harus sama-sama berlaku dan berbuat baik
kepada pasangannya. Baik suami maupun istri. Bukan malah sepihak dan bukan satu
saja, tapi keduadua nya harus sama-sama berlaku baik kepada pasangannya
masing-masing.
Kewajiban-kewajiban
suami kepada istri dan hak yang harus diterima bagi istri itu setidaknya harus:
a.
Suami itu harus memberikan Nafkah; nafkah lahir seperti makan dan minum,
belanja perabotan rumah tangga, biaya sekolah, biaya mondok, dan belajar
anak-anaknya. Di samping itu juga, suami harus memberikan nafkah batin, baik
hubungan seksual yang baik dan layak, maupun hubungan psikologis dalam rumah
tangga itu yang juga baik dan layak.
b.
Suami harus juga memberikan mu’nah. Yang dimaksud dengan mu’nah itu adalah
segala sesuatu di luar kewajiban-kewajiban nafkah tersebut, atau bahasa lain
adalah segala biaya tak terduga, seperti biaya-biaya pengobatan jika sakit,
biaya yang dengan perhiasan istri, biaya untuk istri bersolek dan lain-lain.
c.
Suami juga wajib memberikan biaya kiswah, dalam hal ini suami harus
memenuhi biaya pakaian Istri (secukupnya dan seperlunya).
Semua
kewajiban-kewajiban suami di atas itu tentu disesuaikan sesuai kemampuannya
sebagai suami. Kalau penghasilan si suami satu bulan misalnya hanya berkisar 1
juta rupiah saja, maka bagaimana uang 1 juta rupiah itu harus di atur
sedemikian rupa, sehingga segala kebutuhan rumah tangga itu bisa berjalan
normal; baik itu kebutuhannya sendiri selaku suami, maupun kebutuhan istri dan
anak-anaknya.
Ada satu hadis
Baginda Nabi SAW yang cukup panjang, ketika beliau melaksanakan Haji Wada’
(haji perpisahan, karena tidak lama setelah melaksanakan haji ini, Baginda Nabi
wafat). Beliau berwasiat begini:
“Ingatlah!
Berwasiatlah (ajaklah) istri-istri kalian dengan baik, sungguh mereka itu
adalah penolong bagi kalian (para suami), kalian tidak memiliki mereka kecuali
sebagai penolong, kecuali mereka para istri itu melakukan fahisyah (perbuatan
keji) yang nyata, maka apabila mereka itu menjauh darimu, dari tempat tidurmu,
maka pukullah dengan cara yang mendidik, tidak menyakiti. Maka apabila mereka
itu taat kepadamu, maka ajaklah ke jalan yang benar. Ingatlah! Bagi mereka itu
ada hak yang harus diterima, begitu juga sebaliknya bagimu juga ada hak yang
harus diterima. Hak yang kalian (suami) terima, dari kewajiban-kewajiban istri
adalah seorang Istri tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah (atau kamar
tempat tidurnya) seseorang yang tidak kalian senangi, dan tidak memberikan izin
seseorang masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan kalian (para suami).
Ingatlah! Hak yang kalian harus berikan kepada mereka (para istri). Wajib bagi
kalian (para suami) memberikan pakaian yang baik (layak dan proporsional) dan
memberikan makanan yang (juga) baik (layak, sesuai kemampuan kalian sebagai
suami)”.
Masing-masing
mempunyai kewajiban-masing, masing-masing juga menerima Hak. Tidak saling menyalahkan,
tidak saling memberatkan, juga tidak saling menuntut satu sama lain. Apabila
seorang istri “melanggar” dan tidak sesuai koridor aturan-aturan yang dibangun
bersama, maka suami boleh mendidik istrinya dengan cara yang sekiranya
membuatnya jera. Bahasa hadis di atas tadi : “Fadlribuuhunna (maka
pukullah) dengan tujuan mendidik dan
tidak menyakitkan.
Maksudnya, seorang
suami boleh memberikan hukuman takzir kepada Istri nya bilamana seorang Istri
“melanggar” dari rambu-rambu yang diatur dan ditentukan oleh suami. Karena
suami itu adalah pemimpin keluarga.
Hadratussyaikh KH.
M. Hasyim Asy’ari lebih lanjut menyampaikan bahwa hak yang harus diterima oleh
istri adalah:
a.
Suami harus memberikan nafkah berupa makan, maksudnya uang belanja
sehari-hari urusan dapur.
b.
Suami harus memberikan pekerjaan yang layak dan pantas kepada istrinya.
c.
Suami tidak boleh memukul wajah istrinya.
d.
Suami tidak boleh memaki-maki istri, termasuk membentah atau memarahi istri
nya kecuali di dalam rumah sendiri.
Suami memberikan
hak kepada istrinya, karena suami merupakan pemimpin keluarga yang akan
dimintai pertanggungjawaban kelak dihadapan Allah atas kepemimpinannya di dalam
rumah tangganya.
Sebagaimana Hadist Nabi SAW:
والرّجُلُ راعٍ فِي أهلِهِ و مسئولٌ
عنْ رَعِيَّتِهِ والمرأةُ رَاعِيَّةٌ فِي بيتِ زوجِها و مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهَا فكلّكم
راعٍ وكلّكم مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ
“Laki-laki itu adalah pemimpin
di dalam keluarganya, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya, Perempuan itu adalah pemimpin di dalam rumah suaminya, maka
akan juga dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan di dalam menjaga rumah
tangganya, maka setiap kalian adalah pemimpin, maka akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”
2.
Kewajiban Istri dan Hak Suami
Kewajiban-kewajiban
Istri yang harus dilakukan, dan hak yang harus diterima oleh suami adalah:
a.
Isteri wajib taat kepada suaminya terhadap segala apa saja perintah suami,
selagi dalam hal yang dihalalkan menurut perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
b.
Istri tidak boleh berpuasa kecuali atas izin suaminya.
c.
Istri tidak boleh keluar rumah, kecuali atas izin dan ridla suaminya.
d.
Seorang istri harus bersungguh-sungguh mencari ridla suaminya, karena ridla
Allah berada didalam ridla suaminya dan marahnya Allah berada di dalam marah
suaminya.
e.
Sekuat mungkin istri wajib berusaha menjauhi yang sekiranya menyebabkan
suaminya marah.
Perbedaan pendapat
dan pandangan bahkan keinginan-keinginan yang ada di dalam rumah tangga, antara
suami-istri sesuatu hal yang lumrah dan sering terjadi. Justru dengan adanya
perbedaan-perbedaan itu, maka akan melahirkan solusi-solusi yang sekiranya
justru menjadikan rumah tangga menjadi lebih baik.
Tidak sedikit
keluarga yang dibangun oleh suami-istri justru berakibat fatal dan gagal,
disebabkan kadang-kadang diakibatkan oleh hal yang sepele, atau tidak bisa
mengatasi perbedaan-perbedaan yang selalu saja muncul dan ada di dalam rumah
tangga.
Menurut
Hadratussyaikh, lebih lanjut beliau menyampaikan, “sebaiknya, seorang istri itu
tidak bertindak atas harta suaminya tanpa seizin suaminya. Ia mendahulukan hak
suaminya di atas hak-hak kerabatnya,
termasuk dari hak dirinya sendiri. Inilah istri yang benar-benar salehah.
Seorang istri juga
berusaha bagaimana tampil bersih di hadapan suaminya, tidak kelihatan kumuh, kotor, dan bau. Sebaliknya ia tampil
terawat, harus benar-benar dijaga, setidaknya selalu berusaha rapi, bersih dan
harum, sehingga suaminya selalu terlihat senang dan bahagia melihat istrinya.
Di sisi lain,
seorang suami tidak boleh sombong dan merasa berlebih-lebihan perlakuannya
kepada istri atas kecantikannya. Atau sebaliknya, suami tidak boleh mencaci
maki istrinya, misalnya si istri ada kekurangannya.
Suami yang baik itu
tidak mempermalukan istrinya di depan umum. Begitu juga sebaliknya, seorang
istri itu tidak boleh memaki-maki dan bahkan mempermalukan suaminya di depan
umum. Segala kekurangan dari keduanya hendaknya harus ditutup rapat-rapat,
sehingga tidak menjadi konsumsi publik. Karena wilayah keluarga atau rumah
tangga itu adalah wilayah privat. Artinya, jika ada masalah-masalah maka cukup
hanya diketahui berdua saja.
Menurut
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari lebih lanjut, bahwa seorang istri
hendaknya menempatkan rasa malu sesuai tempatnya, menundukkan pandangannya di
depan suaminya, taat atas perintah suaminya, diam ketika suami berbicara,
berdiri di depan pintu ketika suami datang dari bepergian (menyambutnya dengan
penuh suka cita dan tawadlu).
Tidak malah
sebaliknya, tidak sedikit para istri yang justru berprilaku kontraproduktif,
dan tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Hadratussyaikh di atas ini. Begitu
juga tidak sedikit, para suami berprilaku yang juga kontraproduktif, tidak
menempatkan diri, tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, sehingga selalu
saja muncul tindakan dan prilaku yang arogan dan tidak mencerminkan layaknya
seorang suami yang mengedepankan kasih sayang dan cinta.
Hadratussyaikh KH.
M. Hasyim Asy’ari menyampaikan lebih lanjut bahwa seorang istri itu
sebaiknyanya:
a.
Menawarkan diri kepada Suami nya, mau tidur atau dalam hal apakah si Suami
“kerso” pingin berhubungan badan, atau sekedar bercumbu, atau yang sejenisnya
(karena hal ini adalah salah satu dari hak yang harus diterima oleh suami).
b.
Istri tidak berkhianat, atau menyimpang ketika suaminya tidak ada di rumah.
Baik terkait urusan ranjang atau tempat tidur, maupun urusan harta suaminya.
Apalagi zaman seperti saat ini, godaan-godaan, baik melalui medsos maupun
melalui hal lain, begitu gencar dan luar biasa masif, sehingga seorang istri
harus bisa menjaga diri.
c.
Seorang Istri sebaiknya selalu berpenampilan menarik di depan suaminya,
baunya selalu harum dan wangi, menjaga bau mulutnya.
d.
Istri juga sebaiknya selalu menjaga performanya, berpenampilan menarik di
depan suaminya. (Bukan malah sebaliknyanya, kalau di depan suaminya berantakan,
lusuh, bau, dan lain-lain, giliran ke luar rumah tanpa bersama suami malah
berpenampilan semenarik mungkin. Ini kurang tepat; setidaknya yang baik,
sama-sama berpenampilan menarik. Apalagi ketika bersama suaminya, tentu harus
lebih baik lagi).
Dalam kaitannya dengan hal di
atas ini, Baginda Nabi SAW bersabda:
إﺫَﺍ ﺻَﻠَّﺖِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺧَﻤْﺴَﻬَﺎ
ﻭَﺻَﺎﻣَﺖْ ﺷَﻬْﺮَﻫَﺎ ﻭَﺣَﻔِﻈَﺖْ ﻓَﺮْﺟَﻬَﺎ ﻭَﺃَﻃَﺎﻋَﺖْ ﺯَﻭْﺟَﻬَﺎ ﻗِﻴﻞَ ﻟَﻬَﺎ ﺍﺩْﺧُﻠِﻰ
ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻣِﻦْ ﺃَﻯِّ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺷِﺌْﺖِ
“Ketika seorang istri sudah
shalat lima waktu, dan ia puasa Ramadan, lalu ia telah menjaga kemaluannya, ia
telah taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, “Masuklah wahai istri
yang seperti itu, ke dalam surga dari pintu mana saja engkau inginkan“.
Ini menunjukkan
betapa penting dan wajib seorang istri itu memenuhi kewajiban-kewajibannya, dan
menerima haknya, serta taat kepada suaminya, menjaga dari segala bentuk fitnah
yang dapat menjurus pada kerusakan sebuah tatanan mahligai rumah tangga itu.
II.XII Kisah Teladan tentang Pernikahan
Ali dan Fatimah Radhiallahu
‘Anhuma
Fatimah adalah
putri termuda Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dan bagian dari beliau
dari ibu yang mulia wanita shalihah Khadijah binti Khuwailid, bersuamikan Ali
bin Abu Thalib yang menikahinya dalam rentang waktu antara perang Badar dan
Uhud tepatnya di bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah, seorang pahlawan mujahid
sepupu Rasulullah, orang pertama yang masuk Islam dari kalangan pemuda, seorang
laki-laki yang menyintai Allah dan rasulNya dan dicintai oleh Allah dan
rasulNya, Allah memberi kemenangan melaluinya, Amirul Mukminin salah seorang
khulafa` rasyidin yang dijamin surga oleh mertuanya. Inilah sebagian dari
keutamaan suami pilihan Fatimah putri Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
yang menjadi acuan baginya dalam memilihnya menjadi suaminya.
Ali bin Abu Thalib
hidup sejak kecil dalam kafalah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau
melakukan ini sebagai ungkapan terima kasih kepada bapaknya Abu Thalib yang
juga paman beliau atas pengasuhannya terhadap beliau sejak kecil dan
pembelaannya terhadap beliau ketika dewasa di samping untuk meringankan Abu
Thalib yang berharta minim tetapi berkeluarga besar. Dengan latar belakang
demikian maka bisa dikatakan bahwa Ali bukan laki-laki berharta pada saat dia
menikah dengan Fatimah, demi membayar maskawin kepada istrinya dia menyerahkan
baju perang yang merupakan harta satu-satunya sekaligus senjatanya dalam
menerjuni berbagai macam peperangan.
Imam Abu Dawud dan
an-Nasa`i meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, ketika Ali menikah dengan
Fatimah, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,
“Berikanlah sesuatu kepadanya.” –Maksud beliau sebagai mahar pernikahan- Ali
menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya,
“Lalu di mana baju perang huthamiyah milikmu.” Hadits ini dishahihkan oleh
al-Hakim. Yang dimaksud baju perang huthamiyah adalah penisbatan kepada
Huthamah bin Muharib, salah satu marga dalam Bani Abdul Qais pembuat baju
perang. Ada yang berkata, baju perang disebut dengan huthamiyah karena ia
tuhatthimu (mematahkan atau menghancurkan) pedang karena kekuatannya.
Selanjutnya
bagaimana kehidupan pasangan suami istri ini? Imam al-Bukhari memaparkan dalam
shahihnya sepenggal kisah dari kehidupan Ali dengan Fatimah. Silakan pembaca
menilai dan menyimpulkan setelah membacanya.
Dari Ali bin Abu
Thalib bahwa Fatimah mengadukan beratnya penggilingan kepada Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam yang meninggalkan bekas padanya, pada saat itu
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam sedang mendapatkan tawanan perang,
Fatimah pergi kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam tetapi dia tidak
bertemu dengan beliau, dia bertemu Aisyah, Fatimah mengatakan hajatnya kepada
Aisyah, ketika Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pulang Aisyah
mengabarkan kedatangan Fatimah kepada beliau. Ali berkata, “Nabi shallallohu
‘alaihi wasallam datang kepada kami sementara kami sedang bersiap-siap untuk
tidur, aku hendak berdiri, tetapi beliau bersabda, “Tetaplah kalian berdua di tempat.”
Lalu beliau duduk di antara kami, sampai aku merasakan dinginnya kedua kaki
beliau di dadaku, beliau bersabda, “Maukah kalian berdua aku ajari apa yang
lebih baik dari apa yang kalian berdua minta kepadaku, jika kalian berdua
hendak tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga
kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, ia lebih baik bagi kalian berdua
daripada pembantu.”
Al-Bukhari
meriwayatkan no. 3110, dari Miswar bin Makhramah bahwa Ali bin Abu Thalib
melamar putri Abu Jahal sementara dia masih beristri Fatimah, Makhramah
berkata, maka aku mendengar Rasulullah berkhutbah di atas minbarnya ini
tentangg masalah tersebut, saat itu aku sudah dewasa, beliau bersabda,
“Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dariku, aku mengkhawatirkannya difitnah
pada agamanya.” Kemudian Nabi menyebutkan hubungan pernikahan beliau dengan
Bani Abdu Syams, beliau menyanjung mereka dalam hubungan pernikahan tersebut.
Beliau bersabda, “Dia berbicara kepadaku dan dia berbicara benar kepadaku, dia
berjanji padaku dan dia memenuhi janji itu. Sesungguhnya aku tidak mengharamkan
yang halal dan tidak menghalalkan yang haram, akan tetapi demi Allah anak
Rasulullah tidak akan pernah berkumpul dengan anak musuh Allah selamanya.”
Dapat disimpulkan
bahwa pilihan Fatimah menikah dengan Ali adalah tepat dengan mengacu kepada
tiga perkara:
Pertama, kesetiaan
yang diberikan oleh Ali kepada Fatimah, faktanya selama hidup Fatimah, Ali
hanya beristrikan dia seorang.
Kedua, fadha`il
(keutamaan-keutamaan) yang dimiliki Ali, istri shalihah mana yang tidak
berbahagia dan berbangga dengan suami yang mempunyai fadha`il seperti yang
dimiliki oleh Ali.
Ketiga, output
(hasil) pernikahan dua orang mulia ini, empat anak shalih dan shalihah: Hasan,
Husain, Zaenab dan Ummu Kultsum. Dua anak yang pertama adalah dua orang sayid
para pemuda penduduk surga, dari keduanya lahir orang-orang mulia, para imam
teladan.
BAB III
PENUTUP
III.I
Kesimpulan
Menurut bahasa :
nikah berati berkumpul dan bersetubuh
Menurut syara' : Nikah adalah aqad yang menghalalkan
hubungan suami istri dengan lafadz nikah atau tazwij atau arti dari keduanya
Menurut
undang-undang pernikahan : "Ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dan wanita dalam sebuah rumah tangga berdasarkan tuntunan agama.
Pengertian nikah
menurut syara' sudah jelas bahwa pelaksaan nikah sepenuhnya tergantung pada
peraturan agama. Adapun pengertian nikah menurut undang-undang perkawinan
pencatatannya dapat dilakukan di kantor sipil (KUA). Sedangkan pelaksanaan
nikah dilakukan menurut aturan agama, bila tidak dilakukan menurut aturan agama
yang dianutnya maka perkawinan dianggap tidak sah menurut undang-undang
perkawinan.
III.II Saran
Diharapkan kritik dan saran
bagi para pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi untuk
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
permisi min numpang share ya :)
ReplyDeletebosan tidak tahu mesti mengerjakan apa ^^
daripada begong saja, ayo segera bergabung dengan kami di
F*A*N*S*P*O*K*E*R cara bermainnya gampang kok hanya dengan minimal deposit 10.000
ayo tunggu apa lagi buruan daftar di agen kami ^^