SENI SASTRA
1. Perkembangan Seni Sastra Tulisan
Istilah
‘sastra’ memiliki arti tulisan. Secara lebih luas, sastra dapat diartikan
pembicaraan tentang berbagai tulisan yang indah bentuknya dan mulia isinya.
Keindahan
bentuk hasil sastra yang kemudian lazim disebut sebagai karya sastra terlihat
dari puisi, prosa, lirik prosa, drama, maupun bentuk karya sastra yang lain,
baik yang tergolong ke dalam sastra kuno,
masa peralihan, sampai sastra modern, bahkan sastra kontemporer pada
masa mutakhir.
Ditilik
dari segi bentuk, karya sastra adalah sesuatu yang dapat menyenangkan hati,
sedangkan bila ditilik dari segi isi, karya sastra memiliki nilai guna bagi
siapa saja yang mampu mengapresiasikannya. Karya sastra bukan sekedar dibaca
dan dihayati sebagai pengisi waktu, melainkan di dalamnya terkandung
nilai-nilai yang bermakna bagi kehidupan.
Perkembangan
seni sastra dapat dilihat dari zaman kuno, yaitu zaman sebelum ditemukannya
tulisan, ketika manusia mengembangkan seni sastra melalui tradisi lisan yang diwariskan dari mulut ke mulut dan
disampaikan dari seorang penutur kepada orang lain dalam bentuk cerita atau
dongeng (cerita kancil yang mencuri timun petani), legenda (kisah batu
menangis). Kemudian pada zaman aksara, seni sastra telah mulai dikembangkan
dalam bentuk tulisan-tulisan atau karya sastra yang pada waktu itu ditulis pada
daun lontar. Peninggalan-peninggalan tulisan kuno ini dapat kita lihat di
beberapa museum seperti Trowulan, dan dapat pula kita saksikan tulisan kuno di
museum Bali yang mengisahkan tentang kerajaan-kerajaan di Bali.
Peninggalan-peninggalan tersebut menunjukkan kepada kita hasil karya seni sastra
pada zaman Hindu-Buddha.
Bila
kita cermati lebih lanjut, ternyata masih banyak karya sastra yang lain
peninggalan zaman Hindu-Buddha yaitu:
·
Bharatayuda karya Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh;
·
Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh;
·
Smaradhahana karya Mpu Darmaja;
·
Wrattasancaya dan Lubdhaka karya Mpu
Tanakung.
Pada
akhir abad ke-16 sampai abad ke-17 masehi, pengaruh sastra Islam baru nampak
dalam sastra Melayu Islam yang diterima sebagai unsur yang memperkaya,
mendinamisir, serta mengangkat derajat sastra Melayu menjadi cukup tinggi. Dalam perkembangannya terjadi integrasi yang
kokoh antara tradisi sastra Melayu dengan Islam.
Dalam
sastra Melayu Islam muncul karya-karya Hamzah Fansuri seperti Asrar al-Arifin
Syair Perahu,Syair Dagang, Syair Si Burung Pingai. Demikian pula karya-karya
Ar-Raniri Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan Shirot al-Mustaqim Bustan al-Shalatin, juga
karya Syamsudin Pase Mir’at al-Iman Mir’at al-Mu’minin, dan sebagainya.
Sastrawan-sastrawan
Indonesia yang kita kenal antara lain:
·
Chairil Anwar
·
Sutan Takdir Alisyahbana
·
H.B. Yasin
·
Ajip Rosidi
·
Hamka
·
N. H. Dini
·
Umar Kayam
·
Sapardi Djoko Damono
·
Taufik Ismail
·
W. S. Rendra
Seni
sastra di Indonesia digolongkan dalam beberapa zaman sebagai berikut.
a.
Pujangga
Lama
Merupakan
karya sastra Indonesia yang dihasilkan sebelum abad XX. Pada masa ini karya
sastra di Indonesia didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat.Syair adalah
puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak.
Biasanya terdiri atas 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung
arti atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud).
Pantun merupakan sejenis puisi yang terdiri atas 4 baris bersajak ab-ab atau
aa-aa. Dua baris pertama merupakan sampiran, yang umumnya tentang alam (flora
dan fauna). Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun
tersebut.
Gurindam
adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan
irama akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama
berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan
jawaban nya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi.
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu
yang berisikan tentang kisah, cerita, dongeng, maupun sejarah. Umumnya
mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan
keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.
Beberapa
karya sastra pada masa pujangga lama diantaranya Hikayat Abdullah, Hikayat
Andaken Penurat, dan Hikayat Bayan Budiman. ujangga Lama”.
b.
Sastra
Melayu Rendah
Yaitu
karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870-1942, yang
berkembang di lingkungan masyarakat Sumatra seperti Langkat, Tapanuli, Padang
dan daerah Sumatra lainnya, Cina dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra
pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan
terjemahan novel barat. Beberapa contoh karya sastra Melayu lama yaitu Nyai
Dasima oleh G. Francis (Indo), Bunga Rampai oleh A.F van Dewall, Kisah
Perjalanan Nakhoda Bontekoe, Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan, Kisah
Pelayaran ke Makassar dan lain-lain
c.
Angkatan
Balai Pustaka
Yaitu
karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920-1950, yang dipelopori oleh penerbit
Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek, dan drama) dan puisi mulai
menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, dan hikayat dalam khasanah
sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai
Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul
dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu rendah yang banyak menyoroti
kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai
Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu- Tinggi, bahasa
Jawa dan bahasa Sunda dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak
dan bahasa Madura. Contoh karya sastra angkatan Balai Pustaka antara lain Azab
dan Sengsara, Seorang Gadis oleh Merari Siregar, Sengsara Membawa Nikmat oleh
Tulis Sutan Sati, dan Siti Nurbaya oleh Marah Rusli.
d.
Pujangga
Baru
Makna
Pujangga atau Bujangga adalah pemimpin agama atau pendeta. Tetapi, makna pujangga
dalam pujangga baru adalah ”pencipta”.
Pujangga
baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya
sastra yang menyangkut nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Sastra
Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi
“bapak” sastra modern Indo- nesia. Pada masa itu, terbit pula majalah
“Poedjangga Baroe” yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan
Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun
1930–1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karya sastra Pujangga
Baru di antaranya Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu
oleh Armijn Pane.
e.
Angkatan
‘45
Pengalaman
hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan
’45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan
Pujangga baru yang romantik-idealistik. Misalnya, Surat Cinta Enday Rasidin,
Simphoni oleh Subagio Sastrowardojo, dan Balada Orang- orang Tercinta oleh
W.S.Rendra.
f.
Angkatan
50-an
Angkatan
50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B.Jassin. Ciri
angkatan ini adalah karya sastra didominasi cerita pendek dan kumpulan puisi.
g.
Angkatan
50-60-an
h. Angkatan 66-70-an
Angkatan
ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde
sangat menonjol pada angkatan ini. Karya sastra pada angkatan ini sangat
beragam dalam aliran sastra, seperti karya sastra beraliran surreealistik, arus
kesadaran, arketip, absurd, dan lain-lain. Sastrawan pada akhir angkatan yang
lalu termasuk juga dalam kelompok ini, seperti Motinggo Busye, Purnawan
Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko
Damono, dan Satyagraha Hurip, serta sastrawan yang dijuluki Paus Sastra
Indonesia, H.B. Jassin.
Seorang
sastrawan pada angkatan 50 hingga 60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini
adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen, dan
drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan kesalahpahaman. Ia
disebut sebagai sastrawan yang lahir mendahului zamannya.
Beberapa
sastrawan lain pada angkatan ini adalah: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta,
Arifin C Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Gunawan Mohammad, Budi
Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Widjaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail,
dan banyak lagi yang lain.
Karya
Sastra Angkatan ‘66 di antaranya Amuk, Kapak, Laut Belum Pasang, Meditasi,
Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Tergantung Pada Angin, Dukamu
Abadi, Aquarium, Mata Pisau dan Perahu Kertas.
i.
Dasawarsa
80-an
Karya
sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980 ditandai dengan
banyaknya roman percintaan dan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut
yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini ter- sebar luas di
berbagai majalah dan penerbitan umum. Beberapa sastrawan yang dapat mewakili
Angkatan dekade 80-an ini antara lain Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha,
Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, dan Kurniawan Junaidi. Karya Sastra
Angkatan Dasawarsa 80 antara lain Badai Pasti Berlalu, Cintaku di Kampus Biru,
Sajak Sikat Gigi, Arjuna Mencari Cinta, Manusia Kamar, dan Karmila.
Mira
W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi
romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam
novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel- novel Balai Pustaka
yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu
dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era
80-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya. Namun yang tak boleh
dilupakan, pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi
tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat
komunikasi), yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman
dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh
generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih
“berat”. Budaya barat dan konflik-konfliknya sebagai tema utama cerita terus
mempengaruhi sastra Indonesia sampai tahun 2000.
j.
Angkatan
Dasawarsa 2000-an
Sastrawan
angkatan 2000 mulai merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada
akhir tahun 90-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik
yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kisah novel fiksi.
Sastrawan
angkatan 2000 mulai merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada
akhir tahun 90-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik
yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kisah novel fiksi. Ayu
Utami dengan karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New
York. Karya ini menandai awal bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah
hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar, itulah
yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang yang lain. Novel lain yang
ditulisnya adalah Larung.
k.
Cybersastra
Era
internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak sastra Indonesia yang
tidak dipublikasi sebagai buku namun termaktub di dunia maya (internet), baik
yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit, maupun situs
pribadi. Ada beberapa situs sastra Indonesia di dunia maya.
2. Perkembangan Seni Sastra Lisan
Seni
sastra lisan di Indonesia berkembang secara turun-temurun. Kebanyakan
bercirikan menggunakan bahasa yang panjang lebar, pola dan susunan teksnya
baku, serta ceritanya tersusun dari beragam peristiwa yang benar-benar terjadi,
dongeng khayalan atau teks keagamaan. Masing-masing pencerita mempunyai
keleluasaan di dalam menampilkan tradisi lisan. Bentuk seni sastra lisan yang
berkembang di Indonesia, antara lain:
a.
Mitos
atau Mite
Mitos
merupakan seni sastra bersifat religius, namun memberi rasio pada kepercayaan
dan praktik keagamaan. Masalah pokok yang diulas di dalam mitos adalah masalah
kehidupan manusia, asal mula manusia dan makhluk hidup lain, sebab manusia di
bumi, dan tujuan akhir hidup manusia. Fungsi mitos yaitu memberi penjelasan
tentang alam semesta dan keteraturan hidup dan perilaku.
Mite
yang hidup di Indonesia biasanya bercerita tentang proses terciptanya alam
semesta (kosmogony), asal usul dan silsilah para dewa (theogony), pencitaan
manusia pertama dan pembawa kebudayaan, asal usul makanan pokok (padi), dan
sebagainya. Berikut salah satu mite yang hidup di Jawa.
Konon,
pada masa dahulu kala Pulau Jawa belum berpenghuni sehingga mudah
terombang-ambing terkena ombak laut. Hanya Bathara Guru dan Bathari Parameswari
yang berani menempatinya. Maka, agar Pulau Jawa menjadi tenang, Bathara Guru
memanggil para dewa untuk datang ke Jambudwipa. Intinya mereka diperintah untuk
memindahkan Gunung Mahameru ke Pulau Jawa untuk dijadikan pasak. Para dewa pun
bergotong royong mengangkat gunung tersebut. Bathara Wisnu berubah menjadi tali
untuk mengikat dan Bathara Brahma menjadi kura-kura untuk kendaraannya. Separuh
gunung ditinggal dan puncaknya bisa sampai ke Jawa. Selama perjalanan, ada
bagian-bagian gunung yang jatuh dan membentuk Gunung Wilis, Gunung Kelud, serta
Gunung Kawi. Puncaknya menjadi Gunung Semeru dan menjadi pusat dunia seperti
Gunung Mahameru di Jambudwipa.
b.
Legenda
Legenda
merupakan cerita yang bersifat semihistoris mengenai pahlawan, terciptanya
adat, perpindahan penduduk, dan selalu berisi percampuran antara fakta dan
super- natural. Legenda tidak banyak mengandung masalah, namun lebih kompleks
dari mitos. Fungsinya antara lain memberi pelajaran, ajaran moral, meningkatkan
rasa bangga terhadap suku bangsa atau moyangnya. Suatu legenda yang lebih
panjang berbentuk puisi atau prosa ritmis dikenal dengan epik.
c.
Epik
Epik
merupakan cerita lisan yang panjang, kadang- kadang dalam bentuk puisi atau prosa ritmis yang menceritakan
perbuatan-perbuatan besar dalam kehidupan orang yang sebenarnya atau yang ada
dalam legenda.
d.
Dongeng
Dongeng
merupakan suatu cerita yang tidak nyata
dan tidak historis yang fungsinya untuk
memberi hiburan dan memberi pelajaran atau nasihat.
3. Seni Sastra Lisan yang Ada di
Indonesia
a. Pantun Sunda
Seni
sastra lisan ini merupakan penceritaan bersyair or- ang Sunda (Jawa Barat)
dengan diiringi oleh musik kecapi. Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum atau
sesudah upacara tradisional misalnya pernikahan dan merupakan hiburan tunggal.
Juru pantun menyanyi sesuai irama kecapi yang ia petik dalam skala pentatonik
(lima nada). Kecapi Sunda itu biasanya berbentuk perahu dengan 18 senar.
Pantun
Sunda biasanya berisi kisah cerita dari masa Kerajaan Hindu Pajajaran. Cerita
ditampilkan secara bersamaan antara percakapan dan nyanyian. Salah satu pantun
Sunda yang terkenal adalah Lutung Kasarung, syairnya terdiri atas 1.000 baris
dan berasal dari abad XV. Semula, tradisi ini disampaikan oleh pendongeng
profesional yang berkelana dari desa ke desa. Maksudnya untuk mengajarkan
kepercayaan agama, sejarah, mitologi, sopan santun, dan lain-lain. Dalam
perkembangannya, tradisi ini berubah menjadi cerita anak- anak.
b.
Rabab
Pariaman
Tradisi
pertunjukan lisan ini berasal dari Sumatra Barat. Tukang rabab menyampaikan
cerita dalam wujud nyanyian dengan ciri dialek Pariaman. Tradisi ini biasa
dipertunjukkan pada pesta perkawinan, perayaan nagari, pesta pengangkatan
penghulu, dan lain-lain. Cerita yang disampaikan berisi perjuangan untuk
mencapai keberhasilan hidup. Tokoh dalam cerita itu menghadapi kesulitan dalam
mencapai keberhasilan, kemudian mendapat tanggapan dari penonton.
c.
Makyong
Tradisi
ini semula berasal dari Pattani, Muangthai, namun berkembang ke selatan hingga
pesisir Melayu. Makyong merupakan pertunjukan teater di mana unsur-unsur drama,
tari, musik, mimik, dan sebagainya tergabung menjadi satu. Semula, tradisi ini
dipertunjukkan di kalangan atas Istana Kelantan dan Riau Lingga hingga tahun
1700-an. Fungsinya bukan untuk menghibur tetapi penghormatan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sultan dan istrinya dianggap wakil Tuhan, maka makyong dianggap
persembahan kepada Tuhan.
Dalam
perkembangannya, makyong berubah menjadi pertunjukan desa sebagai hiburan atau
upacara penyembuhan. Kisah yang dimainkan sebagian besar berasal dari warisan
cerita-cerita istana kerajaan Melayu, biasanya berbentuk prosa tanpa naskah.
Makyong antara lain terdiri atas punakawan (pengasuh) yang mengenakan topeng,
wak petanda (ahli pembintangan atau orang bijak), serta para pemain yang semua
diperankan oleh kaum perempuan. Salah satu kisah yang paling disukai dalam
tradisi makyong adalah dewa muda.
d.
Wayang
Kulit dan Wayang Beber
Tradisi
ini merupakan tradisi lisan yang lakonnya bersumber dari legenda serta kisah
lisan sastra tulis atas tradisi India dan Jawa. Wayang kulit dan wayang beber
bisa ditemukan di Jawa, Bali, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat. Tradisi wayang
berbentuk teater boneka dengan menggunakan layar (kelir), gamelan, dan 400-an
wayang. Hidup tidaknya pertunjukan ini ditentukan oleh dalang, karena dialah
yang menguasai pertunjukan.
Sumber
:
Lestari,
Puji. 2009. Antropologi Untuk SMA/MA
Kelas XII Program Bahasa. Jakarta: CV HaKa MJ
Dyastriningrum.
2009. Antropologi Untuk SMA/MA Kelas XII
Program Bahasa. Jakarta : PT. Cempaka Putih
No comments :
Post a Comment